LP
Leap by Telkom
•
21 Jul 2022 14.09 WIB
Masih jelas di ingatan ketika Indonesia dinyatakan menempati urutan ke 60 dari 67 negara yang diukur terkait studi indeks keberlanjutan pangan Food Sustainability Index (FSI) tahun 2020. Belum lagi data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan impor beras Indonesia seberat 114, 45 ribu ton senilai US$ 51,76 juta periode September-Desember 2021, meningkat 24,4% dibanding triwulan sebelumnya hanya 92 ribu ton dengan nilai US$ 40,38 juta.
Wajar jika kita mengelus dada.
Ketahanan pangan memang menjadi isu yang bisa dikata tiada akhir. Kedaulatan pangan juga masih menjadi cita-cita kita bersama. Sadar, bahwa ini tidak hanya menjadi wewenang dan tanggungjawab satu dua pihak saja, Telkom pun meraih peran dengan masuk ke ranah digitalisasi pertanian.
Mengapa demikian?
Bisnis Pertanian
Telkom melalui Agree sudah melakukan riset mengenai alur ekosistem pertanian dan menemukenali bahwa value chain pangan dimulai dari agribisnis lantas diteruskan oleh industri. Panjangnya rantai antara petani dan end customer inilah yang membikin petani tetap saja berpendapatan kecil, setinggi apapun harga komoditas di suatu pasar, nyatanya belum mampu mendongkrak pendapatan petani.
Mengapa? karena rantai ‘perantara’ yang demikian panjang. Dari petani ke pengepul 1, dari pengepul 1 ke pengepul 2, lanjut ke pengepul 3 misalnya, baru ke buyer, barulah masuk ke industri hingga kemudian beredar di pasaran. Masing-masing ‘step’ teranglah mengambil margin. Saat sudah sampai ke end user, value chain berubah menjadi beragam bentuk, baik produk olahan makanan atau mungkin produk lain yang menambah nilai dari komoditas semula. Taruhlah komoditas singkong misalnya, diubah menjadi panganan, atau dijual ke pabrik sebagai bahan baku plastik ramah lingkungan yang punya nilai jual tinggi. Hal serupa berlaku juga pada komoditas lain seperti padi, kopi atau apapun itu. Tapi balik lagi, nasib petani ya begitu-begitu saja.
“Ternyata yang paling menderita dari hasil validasi itu adalah petani, padahal negara Indonesia ini kan pertanian cukup besar dan harusnya menjadi potensi yang besar pula. Kalau kita ingin memakmurkan rakyat Indonesia maka makmurkanlah agribisnisnya dulu, karena majority lahan di Indonesia adalah lahan pertanian,” kemuka Zuhed Nur, Leader Agriculture and Farm.
Baca juga: Bangkit Bersama Agree menjadi Petani Swamandiri!
Menurut Zuhed, jika Indonesia fokus seperti Vietnam dan Thailand terhadap satu industri pertanian seharusnya Indonesia yang memiliki kesuburan tanah yang luar biasa tentu bisa menjadi negara makmur.
Spirit yang membawa Telkom Indonesia melalui Agree adalah improving farming life yang berniat memperbaiki kehidupan petani. Hasil riset Agree menemukan bahwa hal pertama yang dibutuhkan petani adalah terkait knowledge. Bagaimana cara bertani yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lahan untuk menentukan komoditas yang cocok ditanam demi mencatat historical data petani.
Hal kedua adalah kepastian pasar setelah panen, siapa yang akan membeli dan berapa harga jual, karena idealnya petani sudah harus mampu menghitung besaran biaya produksi agar bisa menentukan harga jual kelak, yang pada prakteknya petani nyaris tak punya posisi tawar dalam hal harga. Ketiga, jika petani butuh modal ternyata tidak ada lembaga pembiayaan yang mau memberikan pendanaan. Hal ini karena tidak ada kejelasan berapa jumlah produksi, margin, dan lain-lain. Sedangkan yang keempat, petani membutuhkan teknologi dalam upaya peningkatan produktivitas.
“Dari peta permasalahan di atas, Agree hadir sebagai solusi, menghubungkan semua stakeholder di dalam ekosistem, menyambungkan antara petani dan agribisnis company, sehingga ada kepastian bagi petani kapan panen, berapa jumlah pupuk yang dibutuhkan, setelah panen siapa yang beli, akses pada lembaga pembiayaan, karena bank butuh jaminan itu,” tegas Zuhed.
Baca juga: Bagaimana Sejarah Agree dan Sanggupkah Melerai Petani dari Jerat Hutang?
Jika petani telah terhubungkan dengan agribisnis, Agree akan menyimpan historical data sehingga akses pada lembaga pembiayaan, baik bank atau pun fintech menjadi terbuka. Terkait pembiayaan ini, Agree tidak sekedar merangkul bank-bank besar saja tetapi juga termasuk pembiayaan kecil. Lagi-lagi hal ini disebabkan kebutuhan petani dan nelayan yang memang beragam, begitupun ketidaksanggupan mencicil pinjaman karena petani tidak memiliki pendapatan tetap dan berkala sehingga dengan ragam lembaga pembiayaan memudahkan petani untuk memilih.
Di sisi agribisnis jika ingin mengembangkan usaha, mereka tidak perlu menambah pekerja atau luasan lahan, “Cukup bekerjasama dengan petani-petani yang disambungkan lewat Agree, contoh ketika Tani Mulus misalnya kekurangan supply beras maka bisa bekerjasama dengan petani yang sudah bergabung di Agree.”
Ketika kerjasama sudah terkoneksi, Agree tetap melakukan pendampingan. Selain dari budidaya, di lapangan ada field assistant yang mendampingi petani dalam penggunaan aplikasi, termasuk memvalidasi data yang dimasukkan oleh petani.
“Tantangan di awal saat akan implementasi Agree adalah literasi digital petani yang terbatas sehingga kita butuh Field Assistant di mana mereka akan memfasilitasi dan mendampingi petani dalam implementasi teknologi,” ujarnya.
Untuk persiapan Field Assistant (FA) sendiri, Agree memberi kesempatan lulusan sarjana pertanian bergabung, bekerjasama dengan putra daerah yang disebut Agree Hero dan telah bekerjasama dengan kampus-kampus yang salah satu kurikulum kuliah mereka adalah menjadi Agree Hero. Data yang di record akan bagus secara histori baik untuk mahasiswa maupun untuk petani. Saat ini kerjasama yang sudah berlanjut adalah dengan UNS, IPB, Universitas Brawijaya dan lainnya yang masih on process.
Skema Revenue Agree
Pada saat Zuhed bergabung di Agree 2019, Agree sudah pada fase persiapan segala hal, sementara untuk pembiayaan baru bersifat piloting.
Awal bergabung di Telkom, Ia masuk di kurva kedua di Business Data Communication yang saat itu masih terbilang baru. Zuhed termasuk seorang yang menggarap data komunikasi dan konten dari 2001 sampai 2010, termasuk membuat financial services. Ia mengawal anak perusahaan Telkom bernama Finnet di tahun 2005. Zuhed mengaku ditempa untuk selalu membuat produk yang platform thinking, artinya produk tidak hanya dipakai di satu titik saja namun harus bisa dimanfaatkan oleh semua. Maka Zuhed saat itu menyiapkan MyIndihome yang kemudian bisa dipergunakan di Agreemart dan Agree, termasuk Logee, Sooltan dan lainnya.
Dari senarai perjalanan karir Zuhed, Zuhed lantas diminta untuk membuat model bisnis yang sesuai dengan Agree untuk menghasilkan revenue.
Jika melihat ceruk money, bisa saja Agree melakukan pendekatan yang sama dengan kompetitor industri yang ada, lantas bisa saja memberi harga murah. Tetapi Agree tidak seperti itu. Pendekatan Agree adalah customer, apa benefit yang mereka dapatkan, dan berapa peningkatan benefit yang mereka peroleh dengan menggunakan Agree, di situlah Agree pun mendapat benefit.
“Saya buatkan model bisnis, besar kecil bisnis ini relatif tetapi niat kita berangkat dari ingin membantu. Kalau niatnya membantu maka jika yang dibantu belum berhasil kita jangan ambil keuntungan di situ. Spirit utamanya adalah improving farmer lives, jadi model bisnis yang kita tekankan adalah kita tidak akan mengambil untung dari petani. Jadi Agree mengambil margin bukan dari sisi petani, melainkan dari sisi agribisnisnya. Misal, Tani Mulus sebagai koperasi, posisinya sebagai offtaker maka setelah memiliki transaksi, nilai transaksi panen itulah yang diambil marginnya. Begitu juga dengan pembiayaan, marjin diambil ketika petani sudah membayar pinjamannya,” jelas Zuhed.
Agree bekerjasama dengan beberapa platform teknologi sehingga di Agree punya platform penyiraman, sensor cuaca, sensor tanah, smart irigasi yang petani bisa dapatkan di Agree, “Agree juga mendapat bagian tetapi kita tidak ambil dari petani melainkan dari pemilik teknologi tadi,” Zuhed menegaskan kembali.
Kerjasama di sektor pembiayaan juga sudah terjalin bersama BNI, BRI, BSI, Bank Jateng, Bank BJB, dan Bank Raya. Kemudian, untuk memperkuat sisi bisnis, Agree saat ini sudah melakukan penandatanganan kerjasama dengan Kementan, IPB, Smart Farmer Technology termasuk mengepakkan sayap dengan bekerjasama bersama ID Food. Begitupun Agree menjajaki kerjasama dengan Starbucks dan Kopi Kenangan yang akan mengoneksikan dengan para petani kopi jenis arabica.
Di samping itu, kolaborasi bersama pemerintahan juga terus dilakukan termasuk bersama Dinas Pertanian dan Perikanan Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk digitalisasi petani, “Mereka sadar sekarang butuh sentuhan teknologi digital, mulai dari petani kita kawinkan dengan agribisnis company, lantas kita connect-kan sampai end customer atau B2C nya di mana end buyer ini bisa bersifat B2B perusahaan ataupun B2C.”
Terkait kompetitor, Zuhed menegaskan pula jika Agree tidak memandang sebagai kompetitor justru melihat sebagai peluang kolaborasi, tinggal mencari titik yang bisa dimainkan bersama saja, karena sebetulnya Agree sudah memiliki sistemnya dari ujung ke ujung.
Tantangan Agree
Mustahil suatu usaha tak menghadapi aral rintang, begitupun Agree dengan segala tantangan yang dihadapi. Namun, alih-alih membuat ‘loyo’, justru tantangan demi tantangan yang dihadapi menjadikan trigger untuk berbuat lebih lagi. Zuhed memaparkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam pergerakan Agree, diantaranya dari sisi implementasi ternyata literasi digital petani menjadi hal yang cukup penting diperhatikan. Sehingga peran Field Assistant pun sangat penting sebagai ujung tombak pelayanan. Hingga pada akhirnya justru keberadaan Field Asistant ini merupakan kekuatan Agree yang tidak dimiliki oleh bisnis serupa.
Baca juga: Bekerja sebagai Back End Developer di Agree
Lalu dari sisi development aplikasi sendiri, Agree sudah melakukan berkali-kali perbaikan aplikasi supaya user friendly yang terus diselaraskan sehingga petani benar-benar merasakan kebermanfaatannya.
Sedangkan tantangan internalnya adalah Telkom sebagai BUMN tentu memiliki aturan sendiri yang membuat model bisnis Agree tidak bisa se-agile startup, semua ada range. Penentuan margin haruslah berdasar negosiasi customer terhadap harga komoditi karena di agribisnis industri, komoditilah yang menentukan margin petani dan margin industri. Cara men-deliver-nya adalah dengan menyiapkan kontrak berlangganan yang ringkas dan mudah difahami.
Tantangan selanjutnya terkait industri digital yang mana banyak berguguran saat ini, “Seharusnya jika melihat dari industri, Agree sih harusnya on track tetapi Agree harus cepat dan butuh dukungan internal di Telkom dan industri dalam arti harus banyak melakukan kolaborasi termasuk tadi yang saya jelaskan dengan ID Food, Perhutani, RNI, PTPN dan itu menjadi prioritas Agree agar Agree tetap sustaine.”
Namun, tantangan sesungguhnya adalah seberapa impact atau dampak yang petani rasakan. Ketika petani sudah tahu dan merasakan manfaatnya, mereka akan belajar dengan inisiatif mandiri.
“Kata kuncinya adalah customer first dan model bisnisnya harus agile menyesuaikan itu. Jadi, bagaimana Agree bisa mendapatkan margin tanpa harus menggerus margin customer, itulah tantangan kita!” tutup Zuhed.
Masih penasaran dengan cerita lainnya? kunjungi medium kami di medium.leaptelkom dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya!
Artikel Terkait
PaDi UMKM berikan solusi UMKM lewat Business Matching
1 minggu yang lalu
Jelang hari raya Iduladha, penggemukan sapi makin gencar dilakukan!
4 bulan yang lalu
Solusi Pertanian Digital Dorong Minat Anak Muda Terlibat dan Ambil Bagian
4 bulan yang lalu
Tidak Kalah dengan Belanda, Solusi Agree Bantu Terapkan Prinsip Pertanian Sirkular
4 bulan yang lalu