LP
Leap by Telkom
•
31 Jul 2023 17.59 WIB
Meski belum ada informasi yang bisa memastikan kapan terminologi Kecerdasan Buatan muncul, setidaknya kita bisa meraba sejarah Artificial Intelligence (AI). Bisa jadi, bermula ketika John von Neumann merumuskan ide bahwa komputer harus dipisah menjadi dua bagian antara hardware dan software. Saat itu (tahun 1930), timbul perdebatan mengenai cara memasukkan data-data ke dalam komputer agar sebagai sebuah mesin, komputer mampu mempresentasikan pengetahuan.
Ada pula yang berpendapat kalau cikal bakal AI justru datang jauh sebelum itu, yaitu sekitar tahun 1900, ketika filsuf-filsuf seperti George Boole, Alfred North Whitehead, dan Bertrand A. W. Russell mengeluarkan teori-teori matematika sebagai landasan mesin komputer atau kecerdasan buatan. Boole yang menemukan Aljabar Boolean yaitu ilmu yang menjelaskan operasi logika, Whitehead dan Bertrand Russell menciptakan Principia Mathematica (PM). Kemudian yang terakhir ini disebut-sebut sebagai mahakarya terpenting dalam sejarah perkembangan kecerdasan buatan.
Penemuan demi penemuan teknologi terus berkembang setelahnya. Jika kita mengingat, bahkan di era Perang Dunia II pun, komputer digital telah dipergunakan. Amerika menggunakannya untuk mengolah data demi memenangkan perang. Memasuki tahun 1950-an, nama-nama baru bermunculan dan menjadi perumus terminologi AI, mereka adalah John McCarthy, Marvin Lee Minsky, Herbert Alexander Simon, Allen Newell, dan Edward Albert Feigenbaum.
John McCarthy yang kita kenal sebagai ilmuwan komputer dan kelak dijuluki sebagai Bapak AI menginisiasi sebuah pertemuan. Pertemuan itu diikuti ilmuwan-ilmuwan dari berbagai bidang; matematika, ilmu komputer, dan ilmu pengetahuan lain. Pertemuan yang dilaksanakan selama 20 hari di bulan Agustus 1955 di kampus Dartmouth College, New Hampshire itu kemudian populer dengan nama Konferensi Dartmouth. Satu misi dari Konferensi Dartmouth adalah menciptakan mesin cerdas yang dapat meniru kemampuan intelektual manusia.
Sebagaimana Leap pernah menulis artikel mengenai Artificial General Intelligence (AGI), Tryan, narasumber kala itu sudah memberikan contoh bagaimana AI tidak bisa serta merta memiliki kecerdasan natural seperti manusia. Ia menyebut jika AI cenderung didekatkan dengan beberapa hal yang sifatnya pembelajaran pendek atau short learning. Seperti halnya kita belajar sepanjang hidup.
Tryan juga menganalogikan seorang anak kecil yang belajar memahami fungsi sebuah kursi dan tangga. Secara umum, fungsi kursi adalah untuk duduk dan fungsi tangga adalah untuk naik ke lantai atas. Terkadang, anak-anak kecil mengetahui fungsi-fungsi ini secara alamiah. Secara alamiah pula, kita menjadi tahu bahwa tangga bisa dijadikan tempat duduk.
“Kecerdasan manusia, secara natural seperti itu. Tetapi mesin tidak,” kata Tryan.
Menurut dia, sekarang ini arah AI adalah dicoba untuk diuji-coba menggunakan data, istilahnya open ended data.
Kehebohan mengenai AI justru timbul satu abad setelah Konferensi Dartmouth. Bukan sekadar heboh saja, tetapi juga dibarengi kegelisahan dan ketakutan. Bahkan Elon Musk berulang kali bilang kalau AI lebih berbahaya dibanding nuklir. Mereka, para praktisi di bidang ini tentu jauh lebih paham.
AI digadang-gadang akan menggantikan banyak kerja manusia. Cerdasnya pun, akan melebihi manusia. Benarkah demikian?
Sebetulnya, sejauh mana peluang yang dimungkinkan oleh AI jika sebuah perusahaan BUMN seperti Telkom menyediakannya? Sejauh mana teknologi kecerdasan manusia ini dengan bijaksana dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara? Leap akan membahas tuntas dalam Serial Telkom AI di artikel berikutnya. Jangan terlewat! (hzr)
Artikel Terkait
LLM dan Masa Depan AI: Kunci Keamanan Data dan Optimalisasi Operasional
1 bulan yang lalu
Potensi dan Tantangan AI Multimodal dengan Keragaman Bahasa di Indonesia
1 bulan yang lalu
Mengoptimalkan Keamanan dan Efisiensi dengan Video Analytic AI
1 bulan yang lalu
Tanya Pijar, Revolusi Digital Berbasis AI Bikin Pembelajaran Siswa Jadi Lebih Personal
1 bulan yang lalu