LP
Leap by Telkom
•
07 Sep 2022 20.22 WIB
“MyIndihome permudah kelancaran usaha”
Indonesia merupakan miniatur dunia, kekayaannya yang tidak sebatas alam maupun keanekaragaman plasma nutfah saja. Melainkan ragam bahasa, suku, pun demikian dengan wastra. Wastra merupakan kata yang mendefinisikan kain-kain tradisional yang sarat akan makna budaya nusantara. Berbagai simbol, motif, ukuran, warna, dan material digunakan berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Tiap suku memiliki ke-khas-an yang tidak dimiliki suku lain.
Kini, pecinta wastra berlomba-lomba mengumpulkan jejak-jejak sejarah dan kearifan budaya masa lalu sebagai identitas, seperti Amelia Ratna Kencana Ningrum. Wanita pemilik Gendhis Batik ini sekarang lebih dikenal dengan Amelia Gendhis Batik. Ia memulai bisnis wastra berawal dari kecintaannya terhadap batik tulis, songket, dan tenun.
Amelia Gendhis Batik
Sekitar tahun 2010, ketika Amel masih bekerja di salah satu bank, ia mulai suka mengoleksi kain-kain tersebut.
“Saya suka banget kain, kalau lihat kain-kain batik di online itu bisa semalaman, sambil belajar juga oh motif ini dari Jogja, yang ini dari Solo, Cirebon, atau malah ada juga yang dari Papua atau Kalimantan. Ini kita bicara bukan yang printing ya. Karena harganya juga lumayan, jadi beli sedikit-sedikit eh… lama-lama kok lumayan banyak juga. Nah, setelah menikah dan resign, suami bilang ini kain mau diapain? Karena memang satu kamar itu penuh sama batik-batik saja. Dari situ, saya kepikiran untuk bisnis. Kebetulan saya juga memang suka fashion, jadi dengan referensi model yang sedang populer di dalam dan luar negeri, saya memasukkan unsur wastra di situ. Seperti misalnya saya berani membuat model baju yang asimetrik, unik, dengan paduan kain wastra baik batik ataupun tenun. Ditambah renda untuk mempercantik produk baju yang dibuat dan orang akan jarang menemukannya di toko online shop lain,” buka Amel.
Gendhis Batik cukup populer di kalangan pecinta batik dan wastra. Memiliki model yang unik, lucu, dan jauh dari kesan kaku menjadikan pelanggannya yang mayoritas ibu-ibu muda dan pekerja muda tetap bisa memakai batik dalam suasana formal, semi formal, bahkan sekedar jalan-jalan ke mal. Potongan-potongan fit body juga disukai pelanggan berbadan ramping yang meski size besar juga disediakan dalam sistem pre order.
Perjalanan usaha Amel yang sudah lebih 11 tahun tidak juga bisa dibilang lempang. Bermodal uang sebesar 5 juta, Ia memulai dengan menjadi reseller terlebih dahulu.
“Jadi, awalnya saya tidak langsung terjun membuat model, tapi dari reseller dulu. Dulu saya belum mengerti benar mana yang benar-benar batik tulis, dan mana yang printing. Saat itu ada satu-satunya toko batik online yang menjual kain lawasan, saya beli dalam kuantiti yang lumayan untuk dijual lagi. Tapi, barang datang tidak sesuai ekspektasi, dan kuantitasnya pun tidak lengkap seperti seharusnya. Saya hubungi tidak ada respon dan akhirnya saya sadar saya tertipu sebagian. Dari sini saya berpikir ternyata bisnis begini tidak enak, makanya saya mulai mikir harus menciptakan sesuatu yang bisa dikontrol sendiri. Bisa dijual sendiri dan kalaupun tidak laku ya bisa saya pakai sendiri, haha,” kelakar dia.
Pada tahun 2011, Amel mulai membuka peluangnya dengan berjualan di sosial media. Facebook menjadi pilihannya saat itu karena komunitas pecinta wastra berkumpul di sana.
Komunitas Pecinta Batik di Facebook
“Jadi jaman awal saya merintis itu ada satu toko batik online yang menurut saya sangat bagus dan secara tidak langsung menginspirasi saya. Pemiliknya pun sama-sama memiliki latar sebagai karyawan di salah satu bank swasta dan kini total berkecimpung menjadi pengusaha batik. Saya melihat usaha batiknya ini memiliki target di kelas menengah ke atas. Dari sini saya berpikir kenapa tidak menciptakan fashion batik yang bisa dinikmati oleh semua kalangan, dengan selera atau taste yang tetap sesuai dengan pasar dan berjiwa muda,” jelas ia antusias.
Masih tersimpan diingatan ketika Amel pertama kali menggelar dagangan, semua habis dalam sekejap. Harga per baju di banderol tak kurang 1 juta rupiah untuk dress. Angka berlipat dari itu bahkan sering juga dibeli loyal customer-nya untuk jenis-jenis kain langka. Tidak murah, tetapi sebanding dengan value dan seni dalam tiap karya di setiap helai baju yang ia design. Bukankah sebuah karya seni bernilai tak terhingga? Maka Amel menentukan harga berdasar effort yang ia keluarkan dalam menciptanya.
“Yang membeli baju-baju saya memang orang-orang yang mengerti dan faham, suka saja tidak cukup. Ketika dia faham, maka harga tidak lagi menjadi masalah. Sampai sekarang, mayoritas langganan saya ada di kalangan dokter, tersebar di seluruh Indonesia. Ada juga yang berprofesi lain,” ungkap Amel.
Berawal dari berbagai potensi market yang ia miliki, Amel mulai berani menentukan target pertama, yaitu membeli rumah impian di bilangan Jakarta Selatan.
“Saya mulai berhitung, berapa banyak kuantiti produksi yang harus dikerjakan per minggu agar suatu saat bisa membeli rumah. Sampai akhirnya pekerjaan yang dilakukan karena hobi ini menjadi tidak terasa berat karena dijalankan dengan passion dan hati yang senang. Dan dalam waktu satu tahun berjalan, berhasil mengumpulkan uang untuk bisa membangun rumah dari hasil penjualan batik,” kata dia.
Bagi Amel, perjalanan ini tidaklah mudah dimana berjualan online butuh keseriusan, komitmen dan konsistensi. Menurutnya, zaman sekarang menuntut perempuan melek teknologi. Jangan sampai terlampau gaptek! Untuk berjualan online, perempuan perlu mengasah skill foto, editing, upload di sosmed, dan membuat copywriting atau caption yang menarik, “jadi mau tidak mau ya kita mem-facing kemajuan teknologi, jangan sampai teknologi maju terus tetapi kitanya tidak ikut maju. Harus berbarengan”.
Sekali lagi, customer Gendhis Batik sebagian besar adalah pengguna facebook. Meskipun sempat juga membuka gerai di Pondok Indah Mall. Namun besarnya biaya sewa dan pasar yang terbatas, membuat Amel lebih nyaman kembali berjualan online saja. Namun, dengan aturan maximum friend di facebook hanya sebatas 5.000 akun saja, membuat ia tidak bisa mengepakkan sayap. Sehingga ia mulai memajang karya-karyanya di instagram. Proses berjualan Amel cukup sederhana. Sehari sebelum Ia akan meng-upload, ia akan memasang pemberitahuan bahwa pada jam sekian akan upload produk baru. Di hari yang ditentukan tersebut, ia memposting barang-barang dagangan, dan selanjutnya adalah proses bidding.
Untung Ada MyIndihome!
Pada dasarnya, tentu saja berjualan seperti ini harus ditunjang dengan kekuatan internet yang super cepat. Sehingga, Amel memilih Indihome sebagai partner yang menunjang bisnisnya. “Pertama jualan waktu masih di Lebak Bulus masih pakai data. Nah, pernah kejadian pas di tengah-tengah upload eh pulsanya habis. Dan itu sering banget. Pernah juga berlangganan wifi lain tapi ya itu, tidak bisa diandalkan karena sering ngadat. Sampai akhirnya ketemu Indihome dan saya rasa ini yang terbaik sih. Koneksinya paling ajeg dan menjangkau banyak daerah. Kerjaan saya kan butuh banget internet, kalau TV mah nomor sekian. Kalau kerja kan otomatis duit mengalir, jadi jangan sampai mandeg, haha…” kelakar dia lagi.
Kelancaran usaha yang dijalankannya tak terlepas dari support Indihome yang memberikan layanan internet super cepat. Hal lain yang membuat Amel merasa beruntung memakai produk besutan Telkom ini adalah layanan after sales MyIndihome yang memberikan kemudahan dalam hal pembayaran, begitu pun jika internet mengalami gangguan.
“Yang jelas dengan MyIndihome pembayaran tagihan jadi lebih mudah, fleksibel cukup lewat aplikasi. Jadi, bisa bayar di mana saja kalau pas di luar kota, amann… Nah, kalau ada gangguan itu wajar sebetulnya, tapi memang jarang banget sih, yang penting penanganannya segera. Pernah kejadian waktu itu tukang kebun memangkas tanaman dan tidak sengaja kabel internet terpotong. Nah, suami langsung lapor menggunakan MyIndihome dan ditangani cepat. Sama satu lagi, kan ada program pengumpulan poin tuh, itu menarik juga dan kita bisa cek poin di aplikasinya,” ujar Amel.
Bahkan, saat ini Amel mampu mewujudkan target keduanya, yakni membuka coffee shop dari hasil penjualan wastra dan lebih fokus kepada keluarga. Meski masih menjalankan usaha Gendhis Batik dengan tangan sendiri, tetapi ia tidak lagi mengejar target seperti dulu. Pandemi mengajarkan dia banyak hal. Di saat banyak usaha kolaps, wastra yang ia jalankan justru berjalan lempang. Bisa dikata penjualan online tak terlalu berpengaruh dalam hal penjualan. Tetapi, demi memperluas pasar, ia mulai membuat karya yang harganya bisa lebih terjangkau. Seperti outer atau blazer yang ia jual di harga 400 ribu-an, dan dress yang dimulai dengan harga 800 ribu-an.
“Sebelum pandemi harga termurah rata-rata sejutaan, tetapi kan sejak pandemi banyak orang yang mengubah perilaku, mereka lebih memprioritaskan hal lain seperti kesehatan, pendidikan, jadi saya berpikir bagaimana caranya agar orang tetap membeli batik tulis dengan harga yang terjangkau, ya caranya dengan mix antara tulis dan cap. Intinya, meski mungkin ada masa sulit, yang penting kita jangan berhenti berpikir dan mengupayakan,” pungkas Amel.
Nah, untuk Leapers yang ingin bergabung mengembangkan diri bersama Telkom, klik button dibawah ini!
Bagi Leapers yang masih penasaran dengan cerita lainnya, kunjungi medium kami dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya.
Artikel Terkait
Pentingnya Marketplace B2B Tumbuhkan UMKM di Indonesia
3 bulan yang lalu
PaDi UMKM: Transparansi Pengadaan Jasa Raharja dengan Vendor yang Variatif
4 bulan yang lalu
B2B Marketplace Ramah UMKM: Mendorong Pertumbuhan Bisnis Kecil Berdaya Saing
4 bulan yang lalu
PaDi UMKM: Seleksi dan Pembayaran Vendor Lebih Mudah berkat Fitur RFQ dan Invoice Financing
5 bulan yang lalu