LP
Leap by Telkom
•
19 Sep 2022 17.51 WIB
“Orang-orang udah nda ade lagi yang mau menyekolahkan anaknye di sini Mus, mereka pikir lebih baik anaknye jadi kuli untuk menafkahi keluarganya,” begitu alasan Bakrie yang diperankan Teuku Rifnu kepada Muslimah (Cut Mini) dan Harfan (Ikranagara) ketika ingin berhenti dan pindah mengajar ke sekolah lain dalam film Laskar Pelangi.
Keputusannya tidak serta merta menjadikan Bakrie sebagai seorang tokoh yang antagonis, melainkan bersikap realistis. Mengapa demikian? Bukan tanpa alasan, mengajar di daerah terpencil dengan minimnya fasilitas juga minim siswa yang diajar membuat semangat lerah. Namun, memilih bertahan adalah integritas!
Pada dasarnya, integritas tidak dimiliki sembarang orang. Ia hanya menyasar kepada mereka yang memiliki mutu, sifat, konsistensi, dan potensi memancarkan kewibawaan serta kejujuran saja. Satu dari yang tak banyak itu, adalah Roni Hariyanto Bhidju, S.Pd, seorang guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Fatubai Desa Oehalo, Kecamatan Insana Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Panggilan Jiwa
Bertolak dari Kefamenanu pukul 6 dini hari menempuh jarak 45 kilometer perjalanan menuju Fatubai. Melintasi deret pokok-pokok mahoni, atau jati yang menjulang di kiri-kanan sepanjang jalan bertanah lempung, yang saat panas bulir-bulirnya menguap ke udara dan kala hujan licinnya bukan kepalang. Roda-roda Cross jenis motor dirt bike dipacu agar sampai tepat waktu di tujuan. Motor ini yang cukup tangguh menghadapi alam, sedang motor bebek hanya bertahan 6 bulan saja sebelum akhirnya keok. Begitu cerita Roni membuka pembicaraan bersama Leap.
Tahun 2005 tepatnya, ketika Roni, seorang pria asli Flores memutuskan merantau ke Bali sampai Makassar setelah tamat SMA. Sebelumnya, Ia pernah menjadi buruh bangunan tahun 2009 sampai 2011. Kemudian, pada tahun 2012 kesadarannya muncul bahwa hanya lewat pendidikanlah kesempatan memperoleh kehidupan yang lebih baik bisa ia raih, maka Ia mendaftar kuliah di Universitas Terbuka Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Tahun 2017 ia diwisuda.
Akhirnya, Januari 2018 ia mulai mengabdi di sebuah sekolah milik yayasan di Kota Kefamenanu, setahun kemudian masuk kontrak daerah dan tes CPNS-nya lulus. Lantas, ia ditempatkan di SDN Fatubai, tempat yang ia tuju sekarang.
“Selama saya mengabdi di sana itu memang untuk kita yang sudah biasa mengajar di kota adalah suatu hal yang berbeda. Pertama, akses jalan itu sulit sekali. Medan jalan ekstrim, tanah liat dengan batu-batu lepas, kemudian harus naik-turun bukit, lembah. Kalau musim panas begini kita masih bisa lewat jalan pintas, atau di sini disebut jalan tikus sehingga bisa mempercepat perjalanan. Tetapi kita juga harus susuri sungai sepanjang satu kilometer. Butuh tekad memang,” kata Roni.
Selama 2 tahun Roni dipercaya menjadi wali kelas 6 yang jumlah siswanya sekarang 12 orang. Angka yang sangat kecil untuk ukuran perkotaan tetapi sudah lumayan untuk daerah pelosok, menurut ia. Bersama 9 guru lain ia berjuang menghadirkan prestasi di SDN Fatubai, meski itu tak mudah.
“Saya melihat kehidupan masyarakat di sini cukup prihatin, karena kalau kita lihat dari data siswa, status pendidikan orang tua yang mayoritas tamat SD, dan pekerjaan mereka yang bertani dan kuli bangunan saja. Dulu, waktu saya ditanya oleh kepala sekolah apa tujuan utama memilih SDN Fatubai? Alasannya, karena saat saya tanya orang-orang, banyak sekali yang tidak tahu keberadaan sekolah ini dan saya ingin mempublikasi SDN Fatubai lewat dua cara. Yang pertama peningkatan kompetensi guru, dan yang kedua adalah dengan peningkatan kompetensi belajar siswa,” kata ia lagi.
Tantangan Pendidikan di Daerah 3T
Rupanya, selain kendala-kendala teknis seperti infrastruktur, fasilitas, dan jarak, ternyata ada hal-hal lain yang menjadi tantangan dalam pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Baginya, faktor motivasi juga penting. Rendahnya motivasi baik dari siswa, orangtua, bahkan pendidik juga menjadi tantangan yang sangat nyata.
“Tentang rendahnya motivasi ini pernah saya lakukan penelitian dan sudah berhasil dijurnalkan dan terbit juga. Jadi yang pertama itu, rendahnya motivasi karena daya dukung orang tua. Orang tua tidak pernah menanyakan kabar tentang anak di sekolah. Mereka hanya tahu anaknya berangkat ke sekolah, padahal kenyataannya ternyata anaknya bermain di sungai dan mereka tidak tahu. Daya dukung orang tua untuk pendidikan sangatlah penting sebagai motivasi anak. Kedua perkara jarak, ada beberapa siswa yang letak rumahnya cukup jauh sekali, sekitar empat kilometer tetapi melewati bukit dan lembah. Kalau musim panas begini mungkin mereka rajin ke sekolah, tetapi kalau sudah musim hujan, setengah mati membuat mereka datang. Terakhir, yang ketiga saya lihat juga rekan-rekan guru belum sepenuh hati mengabdi. Misal, hari ini murid-murid datang tetapi gurunya pula yang tidak datang, murid putus asa sudah. Saya bertanya ke mereka, mereka bilang, kami capek-capek datang Ibu wali kelas pun tidak pernah datang, sampai sana pun hanya bertemu papan tulis dan bangku meja saja, guru tidak ada. Begitulah, dan yang keempat memang masih minim sekali sumber-sumber belajar untuk siswa, seperti buku bacaan itu terbatas sekali,” papar Roni.
Usaha Roni pun tak main-main, demi memotivasi siswanya, tak jarang Roni sampai menyambangi kediaman mereka, berbicara dari hati ke hati kepada orangtua siswa, “kalau dua hari murid tidak datang, pasti saya cari, sampai ke dalam rumah pun saya harus cari. Karena saya lebih suka membuat ikatan dengan mereka, sehingga jika mereka tidak datang ke sekolah, terbit rasa malu mereka. Kepada orangtua murid saya juga ajarkan edukasi, saya sampaikan bahwa dahulu Bapak dan Mama malas sekolah, lihat hidup sekarang seperti apa? Kerja bangunan. Kerja bangunan itu baik tetapi alangkah lebih baik anak Bapak dan Mama kasi sekolah jadi arsitek. Itulah motivasi dan edukasi yang saya berikan”. Hal tersebut seakan menginsyafi gambaran pendidikan seperti yang diucap Bakrie dalam Laskar Pelangi di atas.
Lantas, mengapa motivasi guru masih rendah? terdapat beberapa hal, seperti perihal jarak dan kesejahteraan. Berbeda dengan dirinya yang Pegawai Negeri Sipil golongan 3A, rata-rata guru di SDN Fatubai berstatus honorer yang pendapatan per bulannya tertinggi sebesar 400 ribu, itu pun kadang baru dibayarkan tiga bulan sekali. Nominal sekian tentulah habis dimakan bensin di jalan.
Dengan tantangan beragam rupa begitu, wajarlah jika muncul pertanyaan, apa sebetulnya yang membuat Pak Guru Roni terus bertahan? Rupanya, kenangan masa kecil telah menyalakan semangat mengajarnya.
“Saya kembali ke masa kecil dulu, saya juga dari keluarga yang susah. Jadi, ketika saya, kalau boleh jujur sebetulnya sudah ada tiga sekolah di daerah perkotaan yang memberi penawaran untuk saya bekerja di sana, tapi saya tetap pilih di sini. Kita mau membangun, berjuang bersama-sama, apalagi ini adalah awal penempatan bagi saya. Saya perthitungkan juga, kalau di kota itu banyak guru inspirasi yang bisa membangun. Tapi dari pelosok sangat sulit sekali. Karena itu saya tetap bertahan supaya saya bisa menginspirasi. Saya ingin semua anak-anak didik saya menjadi orang yang berhasil. Saya juga ingin teman-teman pengajar di sini memiliki kompetensi lebih, maka dari itu saya mengikuti program Guru Unggul Pijar Sekolah,” jelas Roni mantap.
Pijar Sekolah
Masih dalam membangun motivasi siswa, kompetensi seorang pendidik pun sangat diperlukan dalam membangunnya. Bagi Roni, guru sebagai pendidik harus bersikap dinamis, setiap detik menit perubahan selalu terjadi. Jadi jika skill kompetensi tidak terasah dan ketinggalan informasi, nanti malah tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan oleh peserta didik. Begitu pula dalam proses belajar mengajar, tidak cukup hanya text book belaka, namun pengajaran kreatif juga dibutuhkan, dan Pijar Sekolah sangat membantu Roni dalam hal ini.
“Bagi saya, Pijar Sekolah ini sebuah platform yang cukup membantu dalam melengkapi administrasi sebagai guru. Dalam Pijar Sekolah tersedia sumber belajar dan sumber bacaan bagi siswa. Kemudian bagi saya sendiri, Pijar Sekolah juga menjadi sumber kreativitas guru, karena di situ kita bisa membuat modul belajar, video pembelajaran yang bisa dimanfaatkan bagi peserta didik dalam proses pembelajaran,” terang Ia.
Roni pun mengikuti ajang kompetensi Guru Unggul yang diadakan Pijar Sekolah dan berhasil masuk dalam Top 6 dari ribuan guru yang mendaftarkan diri.
Meski berasal dari daerah yang jauh dari benderang kemudahan akses dan fasilitas Ibukota, kegigihan dan kemauan keras Roni untuk belajar seolah terbayar meski harus terhenti di babak penyisihan spekta 5. Kesempatan mengikuti bootcamp bagi 50 peserta Guru Unggul teratas, diinisiasi Pijar Sekolah untuk memberikan pelatihan yang berisi 8 sesi pengajaran. Tentang bagaimana membuat video pembelajaran, bahkan sampai dengan pembelajaran teknik public speaking yang baik.
“Salah satu cara mengikuti arah perkembangan pendidikan yang bersifat dinamis, suka tidak suka guru dituntut untuk meningkatkan kompetensi. Menyadari hal tersebut maka saya mengikuti berbagai pelatihan dan salah satunya adalah mengikuti kompetisi Guru Unggul yang diselenggarakan oleh Pijar Sekolah, salah satu platform digital dari Leap Telkom. Pesertanya sekitar dua ribuan guru dari seluruh Indonesia dan saya berhasil berada di Top 6. Sampai ke level ini, memberi kebanggaan tersendiri buat saya, terlebih karena saya berasal dari daerah yang sangat minim akses internet,” tambah Roni.
Sebelumnya, Roni membuat e-learning sendiri yang memakan waktu hingga akhirnya ia bertemu dengan Pijar Sekolah dan mampu menghemat lebih banyak waktu, “Pijar itu kan sudah menyediakan semua format yang ada, tinggal kita upload saja, seperti contoh tugas misalnya, jadi tinggal kita buatkan soalnya saja dan upload ke Pijar Sekolah”.
Meski belum sepenuhnya peserta didik menggunakan Pijar Sekolah, namun Roni selalu berupaya memperkenalkan literasi digital kepada mereka. Bahkan, ia kerap mengajak murid-murid ke daerah Tuleu yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari sekolah demi mendapat sinyal. Menaiki bukit dan duduk-duduk di atasnya pada peringatan Hari Pancasila, misalnya, sembari bercerita tentang sejarah Pancasila dan membuat acara kibar bendera. Atau di lain kesempatan Roni mengajarkan pemanfaatan internet. Hal ini dilakukan karena di sekolah mereka tak memiliki jaringan.
Kesulitan tersebut rupanya tidak menggoyahkan upaya Roni dalam membawa perubahan dalam proses pembelajaran berbasis digital. Ia aktif membuat materi ajar menggunakan PPT yang bisa dipakai menggunakan proyektor bantuan dari Pemerintah di sekolah. PPT itu ditampilkan di kelas dan digunakan untuk membuat modul ajar dan dibagikan ke peserta didik secara gratis.
Bahkan, Roni pun menceritakan bahwa SDN Fatubai yang sebelumnya belum terakreditasi dimana rekan-rekan guru bahkan sudah patah semangat, tetapi dengan kehadiran dan perjuangan Roni akhirnya sekolah mendapatkan akreditasi di bulan Oktober 2021.
Pria asal Flores ini berharap perjuangannya dan pendidik lain yang berada di pelosok negeri bisa lebih terlihat dan diketahui secara lebih luas, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu bagian dari satuan pendidikan. Ia memberi contoh berdasar pengalaman saat mengikuti pelaksanaan asesmen berbasis komputer, peserta didik harus berjalan kaki sampai 7 km untuk mencari internet dengan komputer, sedangkan sekolah tidak memiliki komputer dan jaringan.
Kemudian, ia juga menambahkan pesan bagi rekan pendidik, khususnya guru yang ada di daerah terpencil agar tidak mengajar sekedar mencari materi dan fasilitas semata, karena keterbatasan guru inspirasi itu sendiri. Ibarat membangun daerah terpencil, guru-guru adalah mutiara yang membangun negeri lewat semangat pendidikan.
“Yang terpenting, dan dirindukan kami semua, kami selalu merindukan jaringan internet untuk bisa sampai ke sekolah. Dengan adanya jaringan, selain bisa memanfaatkan Pijar Sekolah secara optimal, kami juga tentu bisa membuat video-video pembelajaran atau memanfaatkan internet untuk transformasi digital,” pungkas Roni.
Leapers, mau menjadi digital talent yang membantu pemerataan pendidikan di Indonesia bersama Pijar? Yuk, cari peluangnya dengan klik button di bawah ini!
Bagi Leapers yang masih penasaran dengan cerita lainnya, kunjungi medium kami dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya.
Artikel Terkait
Pendekatan Sustainable Service dan Product Orientation Pijar Sekolah dalam Mengatasi Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia
1 bulan yang lalu
Pemerataan Kualitas Pendidikan Indonesia Lewat Pijar Sekolah
4 bulan yang lalu
Leap - Digital Telco Hadirkan Ragam Solusi Digital
10 bulan yang lalu
Pijar Sekolah Bantu Memajukan SMP Negeri 38 Medan Melalui Digitalisasi
1 tahun yang lalu