Leap Logo

Field Assistant sebagai Ujung Tombak Agree

LP

Leap by Telkom

15 Aug 2022 17.20 WIB

portrait

Menembus udara dingin sisa hujan semalam di antara deret hutan jati yang licin berkapur, tak menyurutkan semangat Maureen untuk menemui petani di kebun mitra Kabupaten Kebumen. Jika kondisi kering sepeda motor dipacu menanjak 40–50 km/jam sampai, kalau kondisi basah begini jangan harap.

Sejak April 2001 Maureen yang lulusan SMK Budidaya Tanaman Perkebunan dan S1 Biologi ini memutuskan menjadi Field Assistant Agree. Agree sendiri merupakan platform digital yang dibangun Leap Telkom untuk memungkas mancaragam persoalan ekosistem pertanian Indonesia dari hulu sampai ke hilir.

Sementara Field Assistant (FA) memiliki fungsi sebagai jembatan literasi digital terhadap petani dan offtaker dalam pemanfaatan aplikasi Agree serta berfungsi memvalidasi berbagai data petani sebelum akhirnya tampil di laman aplikasi. Ranah Field Assistant ini sendiri merupakan sebuah keistimewaan yang diberikan Agree kepada pengguna yang barangkali keberadaannya tidak dimiliki oleh platform sejenis. Tentulah ini secara linear juga setujuan dengan upaya Telkom dalam melakukan percepatan digitalisasi di semua sektor tak terkecuali pertanian itu sendiri.

Senyum Maureen mengembang ketika ditanya apa alasannya sudi menjadi FA, yang mungkin di mata sebagian orang tidak populer. Saat pemuda desa ramai hijrah ke kota dan meninggalkan persawahan, Maureen justru mantap menetap bahkan tak hirau ketika ditugaskan berpindah dari suatu daerah ke daerah lain dengan segala tantangan yang dihadapi. Termasuk saat Ia bertugas di Kabupaten Kebumen seperti digambarkan di muka tadi.

“Alasan saya join di Agree pertama karena kesamaan bidangnya, memang passion saya di bidang pertanian dan Agree adalah produk digital yang masuk ke ranah pertanian. Dan tujuannya sama, sama-sama ingin meningkatkan pertanian Indonesia. Saya juga punya pemikiran seperti itu, saya masih idealis,” tegas Maureen.

Sebetulnya, ada pengalaman pahit yang pernah Ia telan sehingga mafhum bagaimana kehidupan petani yang sesungguhnya. Usai menamatkan strata 1, Ia yang terlahir dari kedua orang tua yang bukan petani ini bertekad untuk menjadi petani. Ia optimis terlebih dengan bekal ilmu yang dimiliki.

Baca juga: Tak Perlu Kuasai Hulu-Hilir Untuk Bangun Masyarakat Tani Indonesia, Benarkah?

Maka, di atas tanah 700 meter persegi, Ia mula membudidayakan pokcoy. Hitung-hitungan dibuat, perencanaan diterapkan dengan matang. Pokcoy dipilih karena berumur pendek, panen sekira 30–40 hari, nilai jual tinggi dan jarak tanam kembalinya tak memakan waktu lama. Singkat cerita, di atas kertas harusnya Maureen untung besar.

Tapi, apatah dikata, ketika persiapan lahan dilakukan, satu persatu permasalahan sesungguhnya menampakkan diri. “Pengolahan lahan itu kalau kita menggunakan buruh atau traktor tentu memakan biaya, maka saya coba melakukan sendiri hampir dua minggu demi menghemat operasional,” kata Maureen.

Lalu, ia pun mengisahkan saat masuk proses tanam, “Mulai tanam mulai terasa di pemupukan, pupuk mahal! Saya saat itu tidak termasuk petani yang terdaftar di dinas untuk mendapat subsidi pupuk, jadi saya harus beli pupuk non-subsidi. Kalau subsidi harganya tiga ribu perkilo, nah yang non subsidi itu tujuh ribu perkilo. Tapi, masih optimis saya hajar saja beli yang non-subsidi”.

Kemudian, ketika masuk masa perawatan ternyata harus pula mempersiapkan tindakan preventif insektisida sebelum hama ulat dan belalang bikin bolong-bolong daun. Lagi-lagi, harganya tak murah.

Apesnya, prediksi panen meleset jauh. Meski sudah diupayakan optimal tetapi ternyata produksi panen tak sebanyak perhitungan karena memang ada hal-hal yang tak maksimal selama tanam dan perawatan. Pun setelah itu harus menghadapi kenyataan sulitnya memasarkan.

“Untuk pemasaran tadinya saya coba tawarkan online, tapi tidak banyak. Karena kita tahu usia panen 30 hari, jadi di hari ke 20 saya mulai cari link-link pemasaran. Tapi ya tidak semudah itu. Saya bawa ke mie ayam meski sebetulnya yang mereka butuhkan bukan pokcoy tapi caisim, tapi saya coba juga dan mereka tidak mau, lagian sudah dikuasai tengkulak atau suplier-suplier mereka. Mau tidak mau bawa ke pasar tradisional dan rela menerima harga seribu lima ratus per kilo yang bahkan tidak menutup biaya operasional,” papar Maureen.

Mengalami sendiri pengalaman menjadi seorang petani, membuat Maureen sekali lagi menjadi mafhum mengenai gambaran permasalahan yang dialami petani-petani lain. Ia pun menyadari jika digitalisasi adalah cara untuk memangkas rantai permasalahan tersebut. Lalu ketika Agree hadir, Maureen merasa ‘inilah saatnya’.

Pertama kali bergabung menjadi FA, Ia ditempatkan di Kebumen. Ia melakukan pendampingan, monitoring budidaya pertanian, dan memvalidasi data-data petani. Kemudian melakukan kolaborasi juga dengan instansi pemerintah seperti Dinas Pertanian, Balai Penyuluh Pertanian (BPP) di setiap kecamatan, dan tentu saja bekerja sama dengan warga lokal yang menghubungkan dengan para petani.

“Saya di Kebumen dari bulan April sampai sekitar bulan September 2021 di offtaker namanya PT Mitra Desa Kebumen. Kemudian setelah itu, berpindah offtaker ke Home Industry yang saat itu belum memiliki legalitas usaha tapi nama komunitasnya Talas Bening selama bulan Oktober sampai November,” ungkap Maureen.

Setelah itu Maureen dipindahkan ke Banyumas, “Selama sebulan saya ditempatkan di CV Satria Agribisnis, komoditasnya selada yang ditanam dalam greenhouse, cuma memang skalanya belum terlalu besar. Luas lahan 125 meter persegi dengan populasi kurang lebih 3.500-an pohon. Dan untuk pemasaran lokal di Kabupaten Banyumas khususnya Kecamatan Pati Kemranjen, saat saya datang kesitu sedang tahap ekspansi dengan membuka dua greenhouse tambahan.”

Setelahnya, sampai dengan hari ini Maureen ditugaskan di Indramayu mendampingi Gapoktan Tani Mulus. “Ada sekitar 754 orang petani yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Terisi, Cikedung dan Lelea. Nah, yang saya lakukan adalah melakukan validasi lapangan, mencatat lokasi lahan di masing-masing petani, melakukan monitoring budidaya, sampai juga pencatatan transaksi yang dilakukan petani. Di sini saya tidak sendiri, ada tiga orang lainnya dan dibantu juga dengan 2 Agree Hero di setiap kecamatan,”

Baca juga: Data Scientist Telkom: Mengasuh Agree Lewat Data

Maureen mengakui, banyak aral lintang yang harus disikapi manakala bersentuhan langsung dengan petani. Terlebih dalam pengaplikasian digital, yang mana kita tahu bersama usia petani yang bisa dibilang kebanyakan tidak lagi muda, menjadi salah satu minimnya literasi digital di antara mereka. Maka Maureen harus cakap dalam melakukan pendekatan personal.

“Mayoritas petani sudah sepuh jadi untuk melakukan digitalisasi pertanian ya tantangannya di situ, kadang mereka tidak memiliki smartphone, kadang meminjam HP anak-anaknya dan kadang kalau HP sedang dibawa anak, ya pakai HP saya,” tawa Maureen merebak.

Tetapi Ia tidak keberatan. Memberi kemudahan bagi petani dalam mengakses pelayanan yang dimiliki Agree menjadi prioritasnya. Ia ingin petani-petani tersebut mendapatkan kemudahan dan akses ke berbagai pihak yang dihubungkan oleh Agree. Seperti akses terhadap lembaga pembiayaan ke bank yang memungkinkan pemberian modal pinjaman, maupun akses terhadap pasar yang mau mengambil hasil panen mereka dengan harga bagus. Sehingga, Maureen tak lagi mengindahkan perkara pribadinya.

Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberi manfaat untuk manusia lain?

Mari menebar manfaat dengan bergabung dalam membangun dan mengelola produk digital Telkom seperti Maureen. Temukan info selengkapnya tentang digital talent dan raih peluangmu di sini!

Bagi Leapers yang masih penasaran dengan cerita lainnya, kunjungi medium kami dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya.

Formulir Pertanyaan