LP
Leap by Telkom
•
28 Jul 2022 15.42 WIB
Marak hadirnya produk-produk digital membuat spesifikasi profesi seperti UI (User Interface) dan UX (User Experience) menjadi gengsi tersendiri. Bahkan, CNNMoney memasukkan UX Researcher sebagai 100 pekerjaan terbaik di Amerika, di samping menurut coursera.org merupakan kelompok profesi di bidang kreatif digital yang paling banyak dicari sepanjang tahun 2022.
Dea Chandra Marella, salah seorang UX Researcher chapter DEX (Design and Experience) Telkom membagi pengalamannya bersama Leap.
Apa itu UX Researcher?
Umumnya, bisa dikata UX Researcher berfungsi untuk mencari informasi dari user dan kemudian menganalisisnya untuk menghasilkan rekomendasi dan design dalam proses pengembangan suatu produk digital. Tidak hanya di awal perencanaan produk digital saja tetapi lingkup kerjanya bisa berada di tahap mana saja.
“Researcher biasanya tidak sekedar mencari masalah saja tetapi juga menggali potensi ide bisnis juga hal-hal yang berkaitan dengan inisiasi sebuah produk. Nah, ketika produknya dibuat tentu berdasar yang dibutuhkan user,” buka Dea.
Bersama-sama dengan Product Manager, Engineer, dan Designer, seorang Researcher akan memformulasikan produk apa yang cocok dengan market yang dituju dan membantu penyelesaian masalah. Diawali dengan mapping masalah, mengobservasi dan menganalisis user berinteraksi dengan web atau produk digital dan memberikan insight dan rekomendasi kepada Product Owner dan Project manager dari hasil analisa tersebut. Lingkup kerja UX Researcher berdekatan dengan UX Designer dan Developer.
Jadi urutannya di awal UX Researcher membantu inisiasi produknya akan seperti apa, biasanya akan dilakukan riset fundamental terlebih dahulu, setelah inisiasi lahir makan akan disampaikan ke UX Designer untuk dibuat design, lalu dari UX Designer diteruskan ke Developer untuk dibuat aplikasinya. Jika aplikasi sudah jadi, maka UX Researcher bisa membantu untuk gather feedback user, di mana dalam tahap ini produk akan diujikan lagi ke user untuk mendapatkan insight demi pengembangan produk selanjutnya. Intinya adalah mencakup interaksi user terhadap produk digital yang sedang dikembangkan.
Research Hub merupakan sebuah hub untuk researcher yang berfungsi untuk mengelola dan mengeksekusi riset-riset produk digital Telkom. Dea merupakan UX researcher untuk produk PeduliLindungi dan pernah terlibat dalam riset Pijar Belajar.
Role Dea sebagai UX Researcher Peduli Lindungi dan Pijar Belajar
Kembali ke masa awal inisiatif hadirnya Peduli Lindungi, berdasarkan respon terhadap masalah yang mengglobal dihadapi dunia, yakni penyebaran virus corona. Telkom mengambil peran dan berkontribusi membuat produk digital yang bisa men-trace pergerakan orang-orang.
Hal pertama yang dilakukan Dea adalah mencari informasi bagaimana kontribusi teknologi terhadap negara-negara yang terlebih dahulu terkena badai covid. Di antaranya Cina, Korea, dan Singapura.
“Kalau di Korea menggunakan pengintegrasian CCTV dan penggunaan alat bayar untuk melihat pergerakan orang, jadi mereka tracing-nya lewat itu dulu. Kalau di Singapura langsung membuat apps, jadi mereka me-record perjalanan orang menggunakan bluetooth,” jelas Dea.
Penggunaan bluetooth ini akan menghubungkan orang yang satu dengan yang lain jika berada dalam satu keramaian. Ketika semua orang mengaktifkan bluetooth maka data akan terekam kemana seseorang pergi, bertemu siapa dan jika ada breakout corona, seseorang ini bisa langsung mawas diri dan melakukan karantina mandiri. Cara ini dirasa paling bisa diadopsi di Indonesia.
Lantas, konsep serupa dibuat. Namun sayangnya, penggunaan bluetooth di Indonesia tidak dinilai efektif. Sebab, tidak semua orang memiliki gadget, gadget yang dimiliki tidak semuanya memiliki kemampuan untuk mengaktifkan bluetooth dalam waktu yang lama, isu baterai, dan memakan memori yang banyak, sehingga PeduliLindungi tidak terutilisasi dengan baik. Maka riset demi riset pun dilakukan lagi. Hingga akhirnya sampailah ke masa adaptasi dengan virus corona, fitur check-in dirasa lebih mudah digunakan namun implementasi di lapangannya saja yang mesti diperketat karena ada beberapa tempat umum yang kurang tegas dalam menerapkan peraturan, fitur informasi terkait kesehatan juga tetap dipertahankan.
“Dari riset juga akhirnya diketahui kebutuhan utama adalah akses terhadap fasilitas kesehatan, dimana kita bisa mencari oksigen, dan informasi bagaimana cara isolasi mandiri, dan ada pula user yang memang butuh melihat statistik untuk memantau keadaan di sekitarnya”
UX Researcher harus mampu men-discover kebutuhan-kebutuhan user sesuai dengan berjalannya waktu, merespon dengan cepat perubahan yang perlu dilakukan oleh aplikasi atau produk digital.
“Karena kalau untuk PL ini memang special, kalau biasanya di produk kita akan bicara inovasi saja, nah di PL kita berpatok pada problem yang susah kita prediksikan. Perubahan terlalu dinamis seiring bertambahnya varian corona, sampai akhirnya kita mengeluarkan tag warna dan vaksin juga,” ujarnya.
Pekerjaan yang Dea lakukan erat kaitannya dengan apa yang akan UX Designer lakukan kelak. Sehingga bisa dikatakan jika tampilan yang dibuat UX Designer mayoritas terinspirasi dari insight yang diberikan oleh UX Researcher. Setelah desain jadi maka dilanjutkan ke Developer.
Contoh lain yang dikerjakan Dea adalah Pijar Belajar. Tahun 2021, Pijar Belajar yang terintegrasi dengan Pijar Sekolah ingin menyajikan platform pembelajaran yang cocok untuk pelajar SMA, SMP dan SD. Sehingga membutuhkan insight dari user untuk menguatkan produk di pasar.
Selanjutnya Dea juga riset mengenai behaviour, literasi saat belajar online, bagaimana penggunaan selama belajar online dan kondisi existing-nya seperti apa. Sehingga diperoleh faktor-faktor apa yang membuat user memutuskan untuk memakai suatu aplikasi, apakah dari segi harga, user experience, dan lainnya sehingga ‘pain point’ yang dihadapi oleh user ini akan menjadi insight bagi pengembangan produk khususnya untuk desain UI/UXnya.
Temuan Dea sangat beragam, di antaranya habit santai selama pandemi, pelajar yang cenderung tidak fokus selama belajar online dan lebih menyukai tatap muka, ragam guru dalam memberi pembelajaran ada yang aktif ada pula yang pasif. Pembelajaran online yang acap menggunakan e-book ternyata dianggap membosankan dan anak lebih suka buku cetak, lalu ternyata saat menemukan kendala pun hal pertama yang dilakukan pelajar adalah bertanya ke google, baru ke youtube, baru ke teman dan guru sebagai opsi terakhir. Selanjutnya, temuan lain adalah siswa menyenangi video animasi di mana kebanyakan mengakses menggunakan ponsel bukan PC, dan hal lain-lain sebagainya bahkan sampai ke kuota internet yang menjadi kendala.
Intinya adalah mengetahui bagaimana interaksi anak-anak terhadap platform belajar online yang mereka pakai sehingga tim Design yang terdiri atas UX Designer, UI Designer, dan UXWriter, pada akhirnya bisa membuat Produk Pijar Sekolah yang sesuai dengan persona yang ditemukan pada pelajar SD, SMP, dan SMA karena perbedaan kebutuhan. Perbedaan kebutuhan di tiap jenjang pendidikan SD-SMP-SMA merupakan tantangan yang harus dihadapi.
Expertise UX Researcher
Selain harus mampu melakukan riset yang mendalam dan memahami user, seorang UX researcher juga harus menanamkan empati di dalam hati dan pikirannya. Empati ini menjadi penting karena akan berpengaruh terhadap cara atau kemampuan berkomunikasi. Bagaimana bertanya dengan menggunakan pemilihan kalimat yang tepat sehingga bisa mendapatkan sebuah insight.
“Tapi sebenarnya skill empati ini learning by doing, karena semakin sering berinteraksi maka skill yang dimiliki juga semakin bagus,” kata Dea.
Selain skill komunikasi, kemampuan berikutnya adalah skill analisis bagaimana Ia mampu mensintesis, menggabungkan, memecah dan mapping hasil riset sehingga seorang UX Researcher bisa memberikan insight yang gamblang dan tepat. Kemudian, yang tidak kalah penting adalah kemampuan bekerjasama dengan pihak-pihak lain. Kerjasama yang dimaksud di sini termasuklah bersama user dan tim.
Setelah semua skill itu dimiliki seorang UX Researcher, Ia juga harus memiliki skill yang satu ini, yaitu design thinking. Skill ini dimaksudkan untuk memahami user dengan pendekatan problem solving, lantas membuat summary mengenai kebutuhan user dengan turut serta juga memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan sisi bisnis dan juga teknis.
“Jadi tidak hanya harus user center, tetapi kan dalam mendesain suatu solusi mesti mempertimbangkan sisi teknis dan bisnisnya pula dan harus menguntungkan tetapi bagaimana caranya juga tetap ‘do able’ buat dikerjakan,” jelas Dea.
Semua rangkaian riset ini menggunakan research method terdokumentasi berdasar standar recruiting, managing, research participant, metode conducting yang didukung oleh tim ResearchOps demi membahas standarisasi metode, dokumentasi bahkan terkait etika dan edukasi.
“Jadi satu aku jadi UX Researcher iya, satu lagi jadi koordinator di ResearchOps juga iya, tapi untuk kerjanya saling berhubungan antar divisi,” jelas Dea.
Untuk hubungan antar divisi sendiri, Dea menjelaskan jika setiap hari senantiasa dilakukan stand up meeting dari tiap produk yang mana antara tim desainer dan tim Developer melakukan check point.
Perempuan yang menyelesaikan studi S2 di Teknik & Manajemen Industri ITB ini merefleksi apa yang selama ini ia lakukan sebagai UX Researcher dan merangkum beberapa hal penting yang ia rasa perlu dimiliki seorang UX Researcher.
Menurutnya, dalam melakukan sebuah riset, bertanya saja tidak cukup yang efektif ternyata adalah metode observasi, “jadi salah satu tips-nya adalah pertanyaan itu jangan dijadikan satu-satunya sumber insight tapi penting melakukan observasi”.
Kemudian yang kedua adalah memberi ruang kepada responden, “mungkin suatu saat kita akan menemukan silent awkward moment, mungkin kita kepikiran sebagai periset harus membuat suasana asik, tapi sebetulnya tidak begitu, kita perlu memberi ruang untuk responden”.
Selanjutnya adalah mawas diri mengontrol emosi. Dea menceritakan pengalamannya, “saya pernah sewaktu wawancara orang untuk Peduli Lindungi dia emosional banget. Dia nangis di hadapan kita tuh adalah sign baik ya karena dia percaya. Tetapi perlu diingat dalam hal ini konteks kita adalah researcher bukan konselor sehingga kita perlu melatih diri untuk bisa memposisikan tidak agar tidak larut dalam emosi itu”.
Jika memang responden dalam suasana emosi yang tidak kondusif, seorang Researcher harus peka dan asertif untuk mengkonfirmasi apakah responden keberatan dengan pertanyaan yang dilontarkan atau tidak.
Sedang untuk software atau tools yang biasa dia pakai adalah Excel, Miro dan Zigma. Sementara untuk koordinasi menggunakan bisa menggunakan Slack, Jira juga Notion. “Yang paling penting sih excel dan shortcut-shortcut-nya untuk analisis kuantitatif dan kemampuan menerjemahkan ke dalam data visual dan menyajikan presentasi dengan baik”.
Terakhir, Dea juga menyampaikan untuk Leapers yang masih di bangku kuliah dan menjelang tugas akhir, “nikmati dan jalanilah proses mengerjakan tugas akhir khususnya mata kuliah Metode Penelitian, karena itu bisa menjadi modal saat ingin terjun menjadi seorang UX Researcher”.
Mau tahu Leap Rangers lain yang sama hebatnya dengan Dea? kunjungi medium kami di medium.leaptelkom dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya!
Bagi leapers yang ingin mengikuti jejak Dea, kunjungi recruitment digital telkom dan jadilah professional digital talent selanjutnya!
Artikel Terkait
Infrastruktur Andal Tentukan Pengembangan AI Next Generation
4 bulan yang lalu
Pemanfaatan IoT pada Industri Logistik: Solusi IoT Antares bantu Tanto Atasi Potensi Kehilangan Container
4 bulan yang lalu
Solusi Omnichannel OCA bantu BSI Maslahat Jangkau Puluhan Ribu Pelanggan dalam Sekali Klik
4 bulan yang lalu
Evolusi Rantai Pasok Digital Solusi Logistik Lebih Efisien
4 bulan yang lalu