LP
Leap by Telkom
•
08 Aug 2022 18.27 WIB
Mungkin tak pernah terbayang sebelumnya dalam benak Fakhrul Ridha jika Ia akan bekerja di ranah digital dalam sebuah lingkup BUMN. Sebagaimana pengetahuannya dulu yang masih terbatas mengenai Telkom yang Ia pikir hanya sebatas mengurusi telepon dan internet saja.
“Jujur, saya sebelum join Telkom tahunya Telkom itu hanya perusahaan internet dan telepon doang. Syukurnya sejak awal masuk Telkom saya di-assign ke tribe EWZ di mana itu B2B, saya jadi tahu kalau produk Telkom itu banyak, kita punya Data Center, Smart City, punya produk-produk digital software maupun hardware, kita tuh punya banyak ‘solusi’. Jadi, portofolio Telkom itu besar dan tidak hanya internet saja. Bahkan Telkom dipercaya oleh pemerintah untuk bekerjasama dalam men-develop digital product untuk kepentingan negara dan bangsa,” buka Fakhrul Ridha, seorang UX Designer sekaligus UX Lead untuk Tribe EWZ (Enterprise and Wholesale Customer Experience & Digitization) Telkom.
Menurut Fakhrul, besarnya apa yang dikerjakan Telkom membuat perusahaan ini masih terus mencari talenta digital untuk bergabung berdasarkan kebutuhan-kebutuhannya.
Fakhrul sendiri bergabung di Telkom sejak 4 tahun silam. Sebelumnya, Ia memulai karir sebagai Web Designer sesuai dengan kuliah yang ditempuh di Strata 1 dan Strata 2 yakni Sistem Informasi. Ia sempat menjajal bekerja di UX Consultant di Jakarta, kemudian juga sempat bekerja di Startup Head Hunter sebelum akhirnya menerima email tawaran dari Telkom. Ia mengaku kaget kala itu mengetahui Telkom membuka lowongan untuk beberapa role digital. Dengan bekal restu dan motivasi dari kedua orang tua, ia pun mencoba peruntungan. Dan gayung bersambut, Fakhrul diterima dan bergabung di Telkom melalui jalur Pro Hire.
“Setelah keterima saya semakin merasa ke-trigger karena saya melihat Telkom memiliki daya jangkau yang luas, seluruh Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Artinya ada impact yang bisa saya berikan lebih luas lagi ke orang lain,” yakin Fakhrul.
Fakhrul berbagi pengalamannya selama bekerja dan menjalani peran sebagai seorang UX Designer dan UX Lead kepada Leap. Di Tribe EWZ sendiri ada tiga produk yang sekarang dikerjakan, yaitu MyTens untuk internal, MyCarrier untuk Wholesale dan MySooltan untuk UMKM. Fakhrul bersama tim mengerjakan user experience dari ketiga produk tersebut.
Sebagai produk ‘tertua’ dalam Tribe EWZ, MyTens merupakan digital touch point di sisi customer, partner dan juga customer, partner dan internal. “Di mana goal-nya itu single touch point karena selama ini setelah didalami di internal ada puluhan bahkan ratusan aplikasi yang terpencar-pencar sehingga MyTens ini digunakan untuk melayani direktorat enterprise, MyCareer yang mirip seperti MyTens diperuntukkan ke direktorat wholesale. Jadi semua yang ada di EWZ itu memang bersifat B2B”.
Role dan Skema Pekerjaan Seorang UX Designer
Bagi Fakhrul, seorang UX Designer harus mampu melakukan dan mengawal proses end to end sebuah produk dari sisi design experience-nya. Mulai dari riset ke stakeholder maupun ke end user. Setelah melakukan riset, hasil riset tersebut di-crossline-kan untuk memetakan kebutuhan di sisi user, baik dari segi user bisnis maupun end user. UX Designer harus mampu menjembatani kebutuhan user baik user bisnis (stakeholder) maupun end user yang nantinya akan menghasilkan solusi desain sebelum masuk ke tim developer.
“Use case-nya itu kurang lebih misal MyCarrier dan MyTens kurang lebih saja. Jadi, kalau di B2B itu kita memiliki journey mulai dari explore di mana melihat dari kacamata end user seperti apa, bagaimana journey pencarian produk atau servis yang kita jual, sampai ke tahap mereka interest. Nah karena ini sifatnya B2B jadi agak berbeda dengan e-commerce, biasanya kalau sudah tertarik akan di-follow up oleh Account Manager (AM),” terang ia.
Hal yang juga menjadi perhatian seorang UX Designer adalah bagaimana mengelola customer, mengelola produk mulai dari proses sales-nya yang memiliki beberapa tahapan di internal sampai kemudian ter-deliver ke customer. Begitu pula dengan after sales jika terdapat gangguan, customer cukup melaporkan dan kelak AM dapat memonitor dan mengetahui sampai mana progress-nya yang mana bisa diakomodir lewat aplikasi baik itu MyTens maupun MyCarrier.
Sedang untuk MySooltan, mudahnya Fakhrul menyebut jika aplikasi ini mirip seperti B2C karena segmentasi UMKM lebih mirip ke user personal, maka use case yang ia biasa temui lebih ke bagaimana keseharian pelaku-pelaku UMKM. “Misal mereka butuh solusi digital untuk bisnis mereka, nah di MySooltan itu menghadirkan etalase produk-produk yang Telkom punya berkaitan dengan UMKM. Misal jika mereka membutuhkan dukungan kasir untuk bisnis, maka kita punya SooltanKasir sehingga mereka bisa membeli atau subscribe SooltanKasir dari MySooltan. Begitu pun jika UMKM tersebut butuh pinjaman usaha maka kita juga memiliki solusi untuk mendukung bisnis UMKM di situ”.
Lebih lanjut, Fakhrul menyatakan kalau berbicara mengenai UX, sebetulnya tidak selamanya berkaitan dengan aplikasi digital. Seperti contoh yang pernah ia alami sendiri, di mana MyTens dan MyCareer sangat berkaitan dengan bisnis proses dan KPI (Key Performance Indicators). “Kadang ada isu yang memang tidak bisa terselesaikan hanya menggunakan tools saja, tetapi justru harus mengubah dari sisi policy-nya, jangan sampai pelayanan kita dan AM kurang maksimal karena sekedar mengejar dari sisi KPI-nya saja,” lanjut Fakhrul.
Sehingga, ia berpendapat jika memang bisnis proses perlu dilakukan perubahan maka UX Designer perlu juga untuk memberikan masukan itu. Sehingga sebenarnya UX Design tidak melulu berkaitan dengan mobile apps semata tetapi bisa juga berkaitan dengan bisnis proses, policy dan lain sebagainya. Ketika ia memperoleh dari dari UX Researcher, mulai dari sana ia harus menganalisa dan men-sintesa lagi data yang diperoleh serta meng-align-kan lagi dengan kebutuhan bisnis. Jadi bisa dikata kalau seorang UX Designer juga adalah ‘jembatan’ antara bisnis dan end user.
Tantangan Nyata Seorang UX Designer
Bekerja dalam sebuah corporate khususnya Telkom di mana berhubungan dengan banyak pihak, membuat seorang UX Designer sebaiknya memahami mengenai Bisnis Proses yang dijalankan perusahaan. Hal ini karena digitization berkaitan dengan bisnis proses juga yang tidak jarang terjadi tarik ulur antara bisnis yang mungkin sudah tidak relevan dengan kebutuhan end user yang bukan tidak mungkin jika tidak disiasati akan menimbulkan benturan dengan proses bisnis eksisting.
“Tantangan kedua sebetulnya berkaitan dengan culture tetapi untunglah kita berada di bawah Digital Business Technology yang sudah mengadaptasi pola-pola kerja startup yang adaptif, agile dan cepat,” kata fakhrul.
Meski terkait talenta masih menjadi suatu isu juga ketika kebutuhan stakeholder demikian banyak dan ingin di-deliver cepat, Fakhrul sering terkendalam dengan tim yang kurang banyak dari segi jumlah, begitu pun dengan spesifikasi talent. “Karena kan beda treatment-nya antara yang junior, medium atau senior yang memang sudah ada knowledge lebih dan sudah ada pattern”.
Fakhrul juga menyampaikan pengamatannya terkait klasifikasi UX Designer yang dia temukan, yakni terbagi menjadi junior, medium dan senior. “Pengelompokan ini mungkin subjektif dari saya ya, tetapi kalau bisa dipilah, yang level junior biasanya adalah mereka yang baru entry level, fresh graduate atau baru switch karir. Sementara yang level senior lebih memikirkan aspek strategi dan sisi bisnisnya, bagaimana meningkatkan revenue, meningkatkan user atau matrik-matrik lain dari sisi bisnis dan produk. Begitu juga dengan jam terbang yang tentu mereka sudah memiliki pattern terhadap case-case yang dihadapi”.
Sementara level medium sendiri berada di antara keduanya, yang sebelumnya tidak memikirkan sisi value, mereka beranjak mulai memikirkan dari sisi value. Dan ini pun adalah sebuah tantangan juga untuk sama-sama memaksimalkan talent yang ada dan meningkatkan kapabilitas tim.
Expertise Seorang UX Designer
Menurut pria berumur 27 tahun yang juga kesehariannya diisi dengan menjadi pengajar lepas ini, menjadi seorang UX Designer harusnya memiliki skill empati sebagai yang utama. “Karena kita bikin produk bukan untuk kita tetapi untuk orang lain sehingga kita harus memahami kebutuhan user”.
Setelah memiliki empati, seorang UX Designer haruslah memiliki kemampuan analitik yaitu memanfaatkan data baik kualitatif maupun kuantitatif, seperti apa kembali ke produk bagaimana bisa berdampai ke end user maupun sisi bisnis, “karena kita produk digital sehingga perlu ada visualnya, setidaknya tahu prinsip-prinsip dari UX itu sendiri karena kan UX itu kaitannya juga dengan psikologi”.
Fakhrul juga menjelaskan terkait psikologi warna yang kerap digunakan dalam desain produk dan menjadi hal yang cukup krusial. Seperti diketahui bahwa Psikologi Colour memang dikenal ada warna-warna tertentu yang mencerminkan sesuatu, seperti warna merah yang mencerminkan bahaya, waspada, dan kehati-hatian. “Jadi bagaimana kita menerapkan warna itu di prosuk yang kita bikin. Misal ada button ‘delete’, button ‘delete’ itu kan krusial ya, kalau tidak diantisipasi maka kan hilang datangnya, maka kita bisa menyesuaikan button ‘delete’ itu dengan warna merah yang artinya memberi peringatan action berbahaya kepada user sehingga user juga aware”.
Selain itu Psikologi di UX juga berkaitan dengan Cognitive Bias. Penerapannya bisa seperti memberikan kolom testimoni misalnya, karena secara alam bawah sadar, user akan lebih percaya kepada suatu produk yang sudah berhasil atau sudah memiliki testimoni.
“Jadi, kalau kita membuat website atau aplikasi ke produk khususnya, orang-orang juga perlu brand awarness-nya terlebih dahulu, nah, bagaimana caranya ya salah satunya kita sediakan section testimoni dari pelanggan existing, seperti apa pengalaman mereka sehingga memberikan kepercayaan kepada calon pelanggan lain, jadi memang penting sekali adanya social proof,” tambah Fakhrul.
Hal yang tak kalah penting menjadi perhatian seorang UX Designer adalah berhubungan dengan Human Computer Interaction (HCI), bagaimana manusia berinteraksi dengan komputer laiknya berinteraksi dengan manusia. Mempelajari HCI menjadi penting supaya produk digital yang dibuat tidak terkesan kaku dan membuat bingung user. Role-nya adalah bagaimana user bisa berinteraksi dengan efektif, efisien dan produknya useable.
Sedang sebagai UX Lead, menurut Fakhrul yang terpenting adalah menguasai manajerial sistem yang gunanya untuk mengukur seberapa peta kekuatan yang dimiliki dan menghitung kebutuhan agar tetap mampu mendeliver pekerjaan sesuai tenggat. Sehingga Management Resource menjadi hal yang sangat penting bagi Fakhrul. Karena sekali lagi, tidak semata sekedar mengatur saja namun lebih dari itu ia berfungsi sebagai mentor yang juga bertanggungjawab meningkatkan kapasitas tim.
Di akhir percakapan Fakhrul berpesan, sekiranya terbersit niat untuk berkarir di bidang UX Designer, sepatutnya itu hadir dari hati. Hal ini karena jika sudah ada dorongan dari hati, maka untuk ke depannya tinggal mengasah skill baik soft skill maupun hard skill.
“Skill pertama adalah empati tadi, skill selanjutnya adalah mempelajari berkaitan dengan UX Research, UI Design, tekniknya berkaitan dengan Information Architecture, UX Flow dan prinsip-prinsip design, setelah itu coba ikut event atau perlombaan berkaitan dengan UX dan kelas-kelas gratis agar memiliki mentor untuk tahu skill apa yang dibutuhkan industri saat ini. Karena salah satu tiket masuk ke industri adalah portofolio, maka bergabunglah dengan komunitas seperti UX Indonesia, selain mendapat teman diskusi bisa juga mendapat mentor, bisa juga bertemu orang baru baik yang sudah expert atau yang sama-sama baru, dan di situ banyak informasi beasiswa Booth Camp gratis, karena banyak perusahaan sekarang bikin CSR nya seperti itu dan itu gratis. Kalau Booth Camp berbayar kan mahal, kenapa tidak memanfaatkan peluang ini?”.
Fakhrul menekankan pentingnya bergabung di komunitas karena selain mendapat informasi dan ilmu, juga bisa langsung review. Ia pun mengajak talenta-talenta digital yang ingin berkontribusi lebih kepada negara dan masyarakat untuk tidak ragu memilih bergabung bersama Telkom dengan mempertimbangkan betapa banyak solusi yang dibuat oleh Telkom dalam tiap-tiap ekosistemnya.
“Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat untuk orang lain,” tandas Fakhrul.
Ingin punya impact yang luas, mari bergabung di Telkom, temukan role yang tepat sesuai pengalaman Leapers di sini.
Bagi Leapers yang masih penasaran dengan cerita lainnya, kunjungi medium kami dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya ya!
Artikel Terkait
Bigbox Telkom Terapkan Teknologi AI dalam Analisis Sentimen Pelanggan
2 minggu yang lalu
Revolusi AI di Pasar Konsumen: Tren dan Dampaknya pada 2024
4 bulan yang lalu
Penerapan Strategi Omnichannel dengan Omni Communication Assistant (OCA)
4 bulan yang lalu
PaDi UMKM: Seleksi dan Pembayaran Vendor Lebih Mudah berkat Fitur RFQ dan Invoice Financing
5 bulan yang lalu