LP
Leap by Telkom
•
02 Oct 2023 17.06 WIB
Semua sepakat bahwa pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Penetrasi digital di semua lini kehidupan, tak terkecuali kesehatan. Institut riset dan data IQVIA merilis laporan terkait pertumbuhan aplikasi kesehatan. Laporan ini menggambarkan adanya gelembung besar ekosistem kesehatan. Sementara gelembung besar ini boleh jadi justru membuat ekosistem kesehatan kurang baik.
Kita telaah satu persatu. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau menjadi salah satu pemicu belum maksimalnya pelayanan fasilitas kesehatan. Implikasi dari sebaran geografi ini adalah penyebaran fasilitas kesehatan yang belum merata. Seturutnya, standarisasi penggunaan alat kesehatan (alkes) yang memadai perlu terus diupayakan. Berbagai sumber mengatakan bahwa standarisasi alkes yang baku di Indonesia masih belum memadai. Alkes merupakan sarana dan prasarana penting dalam proses perawatan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit bagi pelayanan kesehatan. Mulai dari tahap diagnosis sampai pada tahap operasi. Tertambah pula sistem administrasi klinik dan rumah sakit yang belum teratur. Sekilas bisa kita lihat antrian berobat yang sangat panjang, salah satu penyebabnya karena masih banyak fasilitas kesehatan yang belum memanfaatkan perkembangan teknologi.
Menurut IQVIA pada tahun 2020 tercatat sebanyak 250 aplikasi kesehatan diluncurkan setiap harinya. Angka ini merupakan rata-rata dari total 90.000 aplikasi kesehatan digital yang mengorbit di tahun tersebut. Laporan IQVIA juga menyebut bahwa hingga pertengahan tahun 2021 ada lebih dari 350.000 aplikasi kesehatan digital yang tersedia untuk konsumen.
Dengan bermunculannya aplikasi-aplikasi baru, ada dua hal sekaligus yang menyertai. Pertama secara positif memberikan alternatif kepada masyarakat sebagai pengguna dan yang kedua mendatangkan beberapa kekhawatiran terhadap aplikasi tersebut. Apakah sesuai dengan kebutuhan, apakah kualitasnya mumpuni, dan apakah keamanan data pengakses terjamin? Kondisi demikian justru membuat masyarakat masuk dalam kebingungan dalam menentukan aplikasi yang tepat. Inilah mengapa integrasi para pihak terkait menjadi suatu keniscayaan dalam ekosistem kesehatan. Peran digital dimungkinkan.
Aplikasi kesehatan yang ditawarkan kepada konsumen ini terbilang beragam. Ada aplikasi yang berfokus kepada penanganan penyakit dan kondisi kesehatan tertentu, tahun 2020 jumlahnya tercatat mencapai 47% dari 90.000 aplikasi kesehatan yang beredar saat itu. Penggunaan aplikasi kesehatan tidak terlepas dari kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, juga kebugaran. Ragam aplikasi yang bisa dengan mudah diunduh di ponsel dirasa cukup membantu mengaktifkan gaya hidup sehat. Berolahraga, pola makan sehat, dan tidur cukup. Pada kenyataannya, aplikasi kesehatan tidak melulu tentang pengobatan suatu penyakit.
Ditinjau dari sisi bisnis, investasi kesehatan digital mencapai rekor peningkatan pada tahun 2021. MobihealthNews melaporkan bahwa di Kuartal I, pendanaan kesehatan digital menembus nilai $7,1 miliar. Naik signifikan dari sebelumnya sebesar $2,9 miliar. Sementara pada Kuartal II angka investasinya mencapai $6,2 miliar, sungguh nominal ekonomi yang fantastis!
Seperti yang disebut di awal tadi, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Tren ini pun tak bisa dipisahkan oleh akselerasi kebutuhan akses digital untuk kesehatan sebagai respon langsung terhadap pagebluk Covid-19. Jika di dunia terjadi pengembangan aplikasi kesehatan digital yang begitu masif seperti gambaran di atas, hal serupa juga berlangsung di Indonesia.
Ekosistem kesehatan digital tumbuh pesat di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Aplikasinya bertebaran secara masif. Bahkan, beberapa di antaranya cukup populer di kalangan pengguna. Seperti yang dijabarkan di atas, jika ditarik lagi, secara garis besar pengembangan aplikasi kesehatan berkonsentrasi pada dua hal utama yakni yang bersifat preventif dan yang bersifat kuratif atau dengan kata lain pencegahan dan pengobatan.
Aplikasi kesehatan yang bersifat preventif, berfokus pada manajemen gaya hidup. Sementara untuk aplikasi kesehatan yang bersifat kuratif, cakupannya meliputi diagnosa penyakit, penanganan penyakit melalui rawat jalan, dan penanganan penyakit via rawat inap. Sebetulnya, pengembangan aplikasi-aplikasi digital akan lebih efektif dan powerful jika terintegrasi dalam bentuk super apps. Bisa diawali dari aplikasi yang memberikan layanan preventif atau dengan layanan kuratif. Atau penggabungan keduanya.
Sebuah aplikasi yang tentu saja perlu ditunjang data besar. Mereka yang tidak sakit dan sedang sakit terintegrasi dalam satu aplikasi yang bisa menjawab senarai kebutuhan. Mulai dari monitoring kesehatan dan kebugaran, hingga memastikan ketersediaan obat yang paling dibutuhkan, serta kepastian bangsal rumah sakit yang dituju.
Ketika bicara digital, otomatis ada peran data yang besar di situ. Seperti apa dan bagaimana pemanfaatan dan integrasi data yang berlangsung dalam ekosistem kesehatan Indonesia? Dan di manakah Telkom sebagai perusahaan digital telco terkemuka memposisikan diri? Secara ringkas, jawabannya adalah pekerjaan mengembangkan platform layanan kesehatan digital masuk dalam agenda penting yang dilaksanakan Telkom saat ini. Platform tersebut bernama Satunadi yang diikhtiarkan kelak akan memberi solusi secara seamless lewat integrasi dan kolaborasi dengan aplikasi-aplikasi kesehatan lain.
Nantikan artikel selanjutnya dari Serial Satunadi untuk mengetahui lebih dalam tentang Satunadi itu sendiri!