LP
Leap by Telkom
•
19 Jun 2023 15.20 WIB
Hingga hari ini, pekerjaan menjadi digital talent semakin diminati. Tak hanya menawarkan gaji yang menarik, jam kerja yang fleksibel juga menambah alasan meningkatnya peminat untuk pekerjaan ini. Seperti Mesakh, UI/UX Designer di Omni Communication Assistant (OCA) Indonesia yang merasa lebih leluasa saat ia bisa mengatur sendiri jam kerja setiap harinya.
Awal ketertarikan Mesakh dimulai ketika ia bekerja sebagai customer service di salah satu startup di tahun 2016. Mesakh yang merupakan lulusan Teknik Sipil saat itu masih belum bergelut dengan hal yang berkaitan dengan digital. Saat ia melihat Tim Developer yang dapat bekerja dimana saja tanpa terikat waktu, hal tersebut membuatnya tertarik.
Mesakh adalah salah satu gen milenial yang percaya pada pentingnya work life balance. Studi oleh Adobe Document Cloud dengan judul The Future of Time tentang sifat pekerjaan modern menunjukkan betapa pentingnya adaptasi organisasi atau pemberi kerja dalam memberikan preferensi waktu untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik.
Terhitung tak kurang dari 60% sejumlah karyawan Milenial dan Gen Z merasa terpaksa dalam menjalani jam kerja yang dirasa kurang efektif. Tak hanya kurang efektif, generasi muda juga cenderung merasa tertekan untuk bekerja selama jam kantor tradisional karena dirasa kurang produktif. Saat ditanya waktu produktif yang mereka miliki, 26% pekerja Gen Z dan 18% Milenial memilih bekerja pada larut malam, dengan waktu yang dimulai dari jam 6 sore hingga jam 3 pagi.
Studi tersebut juga menjelaskan bahwa sebanyak tiga perempat dari total responden pada generasi karyawan yang lebih muda mengatakan bahwa mereka memilih beralih pekerjaan untuk keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik. Kemudian, sebanyak dua pertiga dari responden beralih ke opsi untuk bekerja jarak jauh, dengan sekitar 70% mengambil pekerjaan lain agar dapat memiliki kontrol yang lebih besar untuk jadwal kerja mereka.
“Asik aja kelihatannya! Mereka bisa datang ke kantor sesuai dengan kebutuhan dan bisa bekerja dari mana saja. Tahun 2016 saya mulai masuk ke komunitas IT. Saya tertarik menjadi developer juga makanya saya banyak belajar dan mencari tahu,” buka Mesakh saat menceritakan awal ketertarikannya di dunia digital.
Latar belakang pendidikan yang berbeda mendorong Mesakh untuk bergabung dengan komunitas. Tak hanya mengikuti berbagai webinar dan bootcamp terkait teknologi, ia juga semakin tertantang untuk turut berperan dalam pesatnya perkembangan teknologi. Mesakh menyebutkan bahwa bekerja di ranah teknologi khususnya digital sangat cocok bagi mereka yang mudah bosan seperti dirinya.
“Ternyata benar dugaan saya, ketika saya mulai mendalami, pekerjaan UI/UX Designer sangat menarik dan tidak monoton. Selalu berubah dan penuh dinamika, cocok banget buat yang gampang bosan dengan suatu pekerjaan,” jelas Mesakh.
Mengamini peribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba, tiga tahun berselang mengantarkan Mesakh untuk memulai pekerjaannya sebagai UI/UX Designer di OCA, saluran omnichannel sebagai komitmen Telkom dalam perkembangan teknologi komunikasi Indonesia. Ia yang telah lama menyukai dunia desain merasa tidak perlu banyak membutuhkan penyesuaian, “Terus, ternyata UI/UX itu impact-nya bisa langsung terasah. Kita bisa memberi dampak langsung ke user, ke bisnis mereka.”
Mesakh yang dari kecil senang menggambar dan mengamati visual merasa bekerja di OCA menjadi pilihan yang tepat. Baginya, tak ada sedikitpun keraguan untuk pindah dari Yogyakarta ke tempat kuliahnya di Jakarta. Meski ia mengaku sedikit gagap dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, Mesakh yang berasal dari daerah di pelosok Kalimantan Barat tepatnya Melawi, ujung Borneo, merasa menaklukkan kota besar Jakarta bukan hal yang sulit.
Selain merasa senang dengan apa yang ia kerjakan di OCA, ia juga mendapat benefit berupa work life balance yang selama ini ia idam-idamkan, berupa waktu kerja yang fleksibel. Meskipun awalnya ia tidak menyangka sama sekali dan sempat terbetik dalam benak Mesakh, ‘Apa iya corporate seperti Telkom bisa menerapkan bekerja fleksibel?’ Barulah ketika ia telah bergabung ia sadar bahwa dugaannya keliru. OCA, salah satu layanan digital Telkom telah menerapkan metode kerja seperti layaknya startup.
Pekerjaan penting yang digarap Mesakh di OCA salah satunya terkait tentang user profiling. Di sini, ia mempelajari behaviour, melakukan riset, serta melakukan competitor analysis dengan benchmark terhadap produk atau industri sejenis. Ia juga berkolaborasi dengan engineer dan memegang tanggung jawab penting untuk desain visual yang disesuaikan dengan kebutuhan user.
Guna mendapatkan profiling yang tepat, Mesakh dan tim perlu melakukan riset. Dari hasil riset yang mereka lakukan, ternyata rata-rata kebutuhan user yaitu komunikasi dua arah dengan customer yang mereka miliki. Riset yang dilakukan kemudian berlanjut dengan brainstorming, diskusi berkelanjutan oleh internal tim OCA untuk mengumpulkan ide dan mencari alternatif solusi. Langkah selanjutnya yaitu memasuki tahap desain, dimulai dari lo-fi (low-fidelity) sampai ke hi-fi (high fidelity) design dan prototype.
Hal lain yang tidak boleh ketinggalan yaitu testing sebagai bentuk evaluasi ke user, hingga iterasi yang merupakan proses atau metode yang digunakan secara berulang dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematik. Pengulangan pada iterasi ini digunakan untuk memastikan berbagai masalah yang ditemukan user saat testing telah tersolusikan.
Setiap iterasi yang dilakukan memungkinkan seorang desainer untuk memperbaiki dan meningkatkan hasil desain berdasarkan feedback dan pemahaman yang tim mereka dapatkan. Contohnya yaitu ada pada tahap pengumpulan data dan analisis. Setelah produk diluncurkan, tim desainer dapat mengumpulkan data pengguna serta melakukan analisis. Tak hanya memberikan wawasan tentang area yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan, pengumpulan data dan analisis dilakukan untuk melihat bagaimana antarmuka (interface) digunakan oleh pengguna.
Setelah semua tahapan di atas telah terselesaikan, barulah Mesakh melakukan delivery ke tim engineering untuk dilakukan tahap development. Pada tahap inilah user menentukan sendiri visual seperti apa yang dibutuhkan, dan dilanjutkan ke tahap terakhir yaitu release.
“Salah satu usecase, waktu kami mengerjakan permintaan dari salah satu user, dimana mereka butuh data yang bergerak dinamis. Mereka ingin data yang tampil bergerak mengikuti perubahan yang dilakukan setiap harinya. Jadi benar-benar datanya wave, bergerak per tanggalnya.”
Lebih lanjut Mesakh menekankan bahwa seorang UI/UX Designer harus memahami behaviour user.
“Desain atau gambar itu kan adalah output, jadi yang kita lakukan adalah mendesain user experience dan memberikan solusi atas permasalahan user. Jadi, desain tuh di ujungnya gitu sementara dari awal kita discover problem. Dari discover problem sampai ke tahap lo-fi kita fokus ke experience user, termasuk di dalamnya ada proses pembuatan user flow, information architecture, user journey, dan lain-lain. Nah, visualnya itu baru di tahap akhir,” jelas Mesakh lebih lanjut.
| Inilah awal mula kelahiran OCA Interaction.
Mesakh menyebutkan bahwa besarnya kebutuhan UI/UX di OCA begitu besar karena keinginan OCA untuk menghadirkan layanan yang full user generated atau pelayanan yang terintegrasi.
Baca juga: Usaha VPM OCA dalam Menjangkau Komunikasi Digital Melalui Market Validation
“OCA ingin full user generated, makanya kebutuhan UI/UX besar banget. Kita punya OCA Automated Intelligent (AI) yang dulunya merupakan Chatbot Development yang mana pembuatan chatbot tersebut harus melalui development tersendiri. Nah, sekarang kita arahkan user atau klien untuk membangun sendiri. Jadi, mereka seperti tinggal drag and drop saja. Bisa langsung dilakukan mandiri sesuai dengan kebutuhan chatbot user,” lebih lanjut Mesakh menambahkan.
Untuk mencapai user interface yang bagus dan sesuai dengan behaviour user, di sinilah peran UI/UX Designer sangat dibutuhkan. Mereka lah yang melakukan riset terkait sisi teknologi maupun secara desain dan experience dari user. Mesakh mengaku bahwa hal inilah yang membuatnya merasa perlu untuk senantiasa berkoordinasi dengan tim marketing, karena bersentuhan langsung dengan user.
Sebagai sebuah layanan yang berada pada level Business to Business (B2B), fitur yang dibutuhkan OCA harus merupakan fitur yang kompleks dan dinamis untuk menyesuaikan permintaan user yang cukup beragam. Untuk memenuhi hal tersebut, OCA memberikan solusi berupa kustomisasi platform untuk memenuhi kebutuhan banyak pihak.
“Mudahnya begini, user A mungkin butuh fitur XYZ. User B membutuhkan fitur KLM. User C butuh fitur STU. Artinya, kebutuhan report secara visualnya berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksakan semua fitur-fitur yang kita punya kepada mereka. Tugas UI/UX Designer adalah, bagaimana cara agar user yang berbeda ini bisa menggunakan layanan OCA sesuai dengan kebutuhannya saja. Nah, makanya saya mencoba membuat OCA Interaction itu,” papar Mesakh.
Lebih lanjut Mesakh menjelaskan bahwa dalam membangun OCA Interaction ia dan timnya membutuhkan proses yang tidak singkat. Awalnya, ia menggunakan custom dashboard monitoring. Ketika dirasa kurang efektif karena besarnya upaya dari sisi pengembangan serta kebutuhan user, proses yang dilakukan menjadi cukup panjang. Dari sisi user, hal ini juga berdampak pada bisnis karena perlunya waktu yang tidak sebentar. Riset demi riset terus dilakukan untuk menyingkat proses ini.
“OCA Interaction adalah hal yang paling menantang! OCA Interaction ini sebetulnya adalah pengembangan dari OCA Blast, yang semula komunikasi satu arah menjadi komunikasi dua arah. Fiturnya kompleks dan sangat dinamis karena OCA lebih ke B2B, sehingga masing-masing user punya kebutuhan berbeda-beda. Beda user, beda dashboard,”
Hal yang Mesakh perlu lakukan adalah melakukan penambahan fitur baru seperti ticketing dan lain-lain untuk memudahkan user mengkostumisasi.
Mesakh menjelaskan, “Awalnya baru ada satu channel saja, lalu saya melihat OCA sebagai omnichannel rasanya masih kurang kalau hanya satu channel. Jadi, saya tambahkan semua channel sosial media, Twitter, Twitter Comment, Facebook Inbox, Facebook Comment, Instagram DM, dan Instagram Comment. Kita juga memasukkan ticketing, supaya agent bisa bikin tiket dan historis tiket-nya sebagai pencatatan. Kita membuat desain dan prototipe-nya. Kita usahakan tetap menggunakan desain yang mudah dikembangkan,”
Setelah bekerja di OCA, Mesakh menyadari bahwa ada satu hal menarik dalam bisnis B2B yang dijalankan oleh OCA. “Ternyata tidak semua user butuh teknologi yang seheboh itu kok! Justru kadang ada hal-hal yang tidak terpikir oleh kita, detail kecil yang ternyata mereka justru butuh. Sebagai seorang desainer, kadang kita punya ide liar. Tapi kadang kita lupa kalau kita ini bukan user. Begitu kita membuat sesuatu yang tidak user oriented, itu bahaya! Jadi, pantang menjadikan asumsi sebagai solusi,” jelasnya.
Telah diketahui bahwa teknologi memang berbanding lurus dengan literasi. Saat literasi digital user baik, teknologi yang dapat diserap pun juga semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Easy operated dashboard menjadi hal yang terpenting, karena OCA menargetkan layanan full user-generated.
“Makanya menurut saya, yang tersulit adalah memilih alternatif solusi dari sekian banyak solusi yang harus kita seimbangkan. Mana yang secara tujuannya sudah cocok dengan tujuan awal yang kita tentukan. Lantas, dari sisi risiko dan biaya pun terukur. Jadi, pantang menjadikan asumsi sebagai solusi,” tandas Mesakh menutup penuturannya.
Tertarik berkarir sebagai UI/UX Designer bersama Mesakh? Yuk, cari peluang terbaikmu hanya di Careers Telkom!
Artikel Terkait
Infrastruktur Andal Tentukan Pengembangan AI Next Generation
4 bulan yang lalu
Pemanfaatan IoT pada Industri Logistik: Solusi IoT Antares bantu Tanto Atasi Potensi Kehilangan Container
4 bulan yang lalu
Solusi Omnichannel OCA bantu BSI Maslahat Jangkau Puluhan Ribu Pelanggan dalam Sekali Klik
4 bulan yang lalu
Evolusi Rantai Pasok Digital Solusi Logistik Lebih Efisien
4 bulan yang lalu