LP
Leap by Telkom
•
25 Aug 2023 15.18 WIB
Katherine mengenang masa kecilnya. Seorang gadis kecil berjalan di antara pohon-pohon pinus sambil menghitung bilangan prima, lalu ia masuk ke dalam sebuah gedung dan menemukan mozaik kaca. Dari hiasan stained glass itu ia mengidentifikasi bangun-bangun sama sisi, trapesium, tetrahedron, dan lain-lain. Lalu, ketika berada di ruang kelas Sekolah Menengah, bocah sepuluh tahun ini berhasil menyelesaikan soal persamaan matematika. Kemudian, ia menjadi perempuan kulit hitam pertama yang bersekolah di West Virginia University Graduate School.
Lamunan Katherina tersela. Mobil yang ia kendarai bersama dua sahabatnya, Dorothy dan Mary menuju kantor tempat mereka bekerja, NASA, tiba-tiba mogok. Alih-alih mencari bantuan, Dorothy justru memperbaiki mobil dengan tangannya sendiri. Meski mekanik identik dengan dunia laki-laki, nyatanya Dorothy yang perempuan menguasai juga. Kelak, kemampuannya ini akan berguna ketika pekerjaan dia dan timnya terancam saat NASA mulai menggunakan IBM.
Begitulah gambaran film Hidden Figure. Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata tentang tiga orang pekerja perempuan kulit hitam di NASA yang punya andil besar, tetapi dulu menghadapi tantangan rasisme dan kesetaraan gender pada tahun 1961.
Katherine Johnson adalah orang yang berjasa dalam keberhasilan pendaratan manusia pertama Neil Armstrong dan Buzz Aldrin ke bulan. Semula, ia bekerja sebagai pengajar, lalu pada tahun 1952 ia bekerja di Komite Penasihat Nasional untuk Penerbangan di Departemen Bimbingan dan Navigasi. Ia bekerja di kelompok perempuan yang melakukan perhitungan matematika. Maka itu ia disebut ‘manusia komputer’. Kemudian, ia membantu tim riset penerbangan yang semua anggotanya laki-laki, kecuali dirinya. Menguasai geometri analitik, ternyata tidak lantas membuat karirnya lempang dan lerai dari permasalahan diskriminasi gender dan ras. Permasalahan yang dihadapi seakan menjadi ‘ramalan’ di masa depan untuk menghadapi tantangan perempuan di era digital.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender adalah perjalanan panjang, hampir di seluruh dunia. Melibatkan banyak gerakan, perubahan sosial, dan tentu saja peraturan dan undang-undang. Jika merunut kepada sejarah, kesetaraan gender bermula dari upaya perjuangan hak-hak perempuan pada awal abad ke-20. Gerakan feminisme muncul. Perempuan, juga laki-laki yang memiliki keberpihakan terhadap hak perempuan, mulai mengadvokasi hak pilih, kesempatan pendidikan yang setara, dan hak untuk bekerja di luar rumah.
Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 memberikan panggung global bagi isu kesetaraan gender ini. Tetapi, apakah lantas diskriminasi gender dan ras serta merta bisa disudahi? Tidak. Perjalanannya masih panjang.
Pada tahun 1961, sebagai latar film Hidden Figure, saat Katherine berada di NASA, Amerika sedang mengalami masa-masa pergolakan kesetaraan. Kala itu, perempuan dihadapkan pada keterbatasan dalam pilihan karir dan upaya untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dalam dunia kerja. Begitu pula dengan pengupahan atau penggajian yang timpang. Perempuan juga mengalami diskriminasi dalam akses pendidikan. Sebagai manusia yang memiliki hak pilih, perempuan di Amerika Serikat saat itu mesti memenuhi persyaratan tertentu seperti uji keaksaraan atau tes pengetahuan konstitusi yang dirasa tidak adil. Bentuk ketidakadilan lain adalah penempatan perempuan dalam peran tradisional dengan urusan domestik (rumah tangga).
Tetapi, tengoklah sekarang. Diskriminasi gender di atas nyaris tidak terlihat. Perempuan saat ini merdeka untuk bersuara dan berkarya. Termasuk dalam ranah maskulin sekalipun, seperti digital. Industri teknologi informasi dan digital seringkali dianggap sebagai wilayah yang didominasi oleh laki-laki. Namun, banyak perempuan telah membuktikan bahwa mereka juga memiliki potensi besar dalam industri tersebut. Kini, peran perempuan di era digital semakin marak digaungkan.
World Economic Forum (WEF) pada tahun 2020 merilis bahwa ada sekitar 32% pekerja perempuan berada di industri teknologi digital. Kita ketahui bersama bahwa digital sangat mempengaruhi tatanan kehidupan saat ini. Hidup menjadi lebih mudah dan efisien. Sehingga, kebutuhan digital talent pun begitu besar. Di BUMN sendiri, diharapkan ada 200.000 digital talent yang bergabung. Begitu yang dikatakan salah satu pembicara, Venusiana Papasi, Direktur Enterprise & Business Services Telkom Indonesia dalam acara Srikandi BUMN Goes to Campus di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 16 Agustus 2023 kemarin.
Kebutuhan digital talent di BUMN, khususnya di Telkom sendiri memang cukup besar. Leapers bisa mengulang membaca artikel Peta Kekuatan Telkom Menghadapi Kebutuhan Digital Talent Menuju Indonesia Emas 2045, Melihat Peluang Karier Digital Talent, dan Peran Digital Business Enabler (DBE) Merespon Kebutuhan Digital Talent Indonesia, yang menceritakan bahwa memang benar kebutuhan digital talent sebesar itu!
Peran-peran seperti di bidang Digital Marketing, Digital Business, Supply Chain, Product Management, Innovation dan Collaboration adalah yang dibutuhkan. Di dalamnya, ada Road Computing and Networking, Cyber Security, Internet of Things, IT Government, Developer, Designer UI UX, dan Software Developer. Selain itu, masih ada juga bidang lain seperti Data Science, Data Analytics, Artificial Intelligent (AI), Machine Learning, Block Chain, dan masih banyak lagi. Sehingga kesempatan perempuan dalam mengembangkan diri, bertumbuh, dan berkontribusi untuk negara lewat BUMN di sektor digital sangat terbuka lebar. Perempuan maju digital bukan lagi angan-angan belaka!
Srikandi BUMN sendiri adalah sebuah wadah komunitas perempuan yang berkarya di BUMN. Programnya adalah women leadership dan women empowerment kesetaraan gender, di mana kesetaraan perempuan ditargetkan sebesar 25% di C-Level pada tahun 2023.
Maksudnya adalah persentase jumlah kepemimpinan perempuan yang berada pada BUMN. Jajaran pengurus tersebut tidak kurang dari 40 orang pengurus berada pada C-Level. Istilah C-Level biasa digunakan dalam dunia bisnis untuk merujuk kepada sekelompok posisi manajemen tingkat atas. Biasanya, diikuti oleh huruf pertama posisi jabatan, seperti CEO (Chief Executive Officer), CFO (Chief Financial Officer), CTO (Chief Technology Officer), dan sebagainya. Posisi ini menunjukkan peran strategis yang memiliki tanggung jawab tidak kecil dalam pengambilan keputusan strategis dan pengelolaan perusahaan.
Bahkan, untuk memperkuat prinsip kesetaraan ini, Menteri BUMN Erick Thohir telah meluncurkan Respectful Workplace Policy (RWP) sebagai kebijakan atau panduan perusahaan untuk memastikan situasi kondusif dalam lingkungan kerja, April tahun lalu. RWP adalah representasi atas Anti-Diskriminasi baik itu gender, ras, agama, usia, orientasi seksual, dan faktor lainnya. Termasuk pula Anti-Pelecehan baik secara verbal, terlebih fisik. RWP juga menganut sistem Keadilan dan Kesetaraan dalam hal penggajian, promosi, serta peluang pengembangan karir. Kemudian yang tidak kalah penting, yaitu berkaitan dengan perlindungan karyawan. Bila hal-hal di atas terjadi, Sanksi dan Konsekuensi turut menyertai. Dengan ini, tantangan perempuan di era digital diharapkan dapat teratasi dengan maksimal.
Alih-alih digital akan menggantikan banyak peran kerja perempuan, justru sebetulnya industri digital membuka peluang-peluang baru. Sama halnya ketika dulu sistem komputasi baru diperkenalkan, banyak sekali manusia merasa takut kehilangan pekerjaannya. Tetapi lihatlah hari ini, kerja komputer dan manusia bahkan saling berikatan.
Contoh lain yang bisa kita lihat adalah penggambaran dalam film Hidden Figure, saat perangkat keras International Business Machines (IBM) didatangkan ke NASA. Semula, hal ini menjadi ancaman. Tapi apalah arti semua mesin-mesin canggih itu jika tidak ada manusia yang mengoperasikannya? Maka, Dorothy yang piawik mekanik itu, mengajak perempuan kulit hitam di NASA mempelajarinya, menjadikan itu sebagai kesempatan demi tak kehilangan pekerjaan.
Rasa-rasanya, bukankah kita pun demikian di industri digital ini? Disrupsi digital adalah hal yang tidak bisa dihindari. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah membersamainya, serta membuka lebar peran perempuan di era digital. Dan tahukah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari film tersebut tentang perjuangan melawan diskriminasi serta kesetaraan gender? Berteriak bukanlah cara untuk menjadikan seseorang ‘dianggap’, melainkan ‘berbuat’! Dan perbuatan itu akan bersuara dengan sendirinya. Ibarat kata Bung Karno “Rose never propagandized its fragrance but its own fragrance spreads surrounding”. (Hzr)
Artikel Terkait
Ke Mana Arah Masa Depan Telkom Artificial Intelligence (AI) Dibawa?
1 tahun yang lalu
Manfaatkan Peluang dengan Program Internship Telkom
1 tahun yang lalu
Peran Digital Business Enabler (DBE) Merespon Kebutuhan Digital Talent Indonesia
1 tahun yang lalu
Talent Capability sebagai Strategi Investasi ESG
1 tahun yang lalu