LP
Leap by Telkom
•
29 May 2024 16.01 WIB
Separuh mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) ogah jadi petani!
Data ini dirilis oleh TheConversation berdasarkan risetnya kepada 577 mahasiswa IPB. Hasil riset menyatakan, lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini karena kurangnya pengetahuan, dan rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik. Keinginan mahasiswa IPB menjadi petani cukup rendah, yaitu sebesar rata-rata 5,65 dari 10.
Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyatakan bahwa rata-rata usia petani meningkat dari 39,9 tahun pada 2000 menjadi 45,7 tahun pada 2020. Artinya, terjadi tren penuaan tenaga kerja sektor pertanian dan rendahnya minat anak muda menjadi petani.
Banyak alasan memang, mengapa minat terhadap dunia pertanian terasa kurang populer. Salah satunya karena pendapatan sebagai petani cenderung tidak stabil. Pendapatan dari pertanian seringkali tidak menentu dan bisa sangat rendah, tergantung dari hasil panen. Sementara hasil panen ditentukan oleh banyak faktor, seperti kondisi lingkungan, cuaca, fluktuasi harga pasar, dan kebijakan pemerintah. Bagi anak muda, bekerja sebagai petani juga tidak populer karena memerlukan kerja fisik yang keras dan jam kerja yang panjang. Termasuk juga perubahan gaya hidup di mana banyak anak mudah merantau ke kota. Sementara lahan yang memungkinkan untuk dijadikan pertanian sudah tidak memungkinkan di perkotaan.
Hal yang paling terlihat sebetulnya adalah kesan pertanian yang tidak dekat dengan teknologi. Meskipun asumsi ini sudah terbantahkan sebetulnya, dengan keberhasilan negara-negara maju menerapkan pertanian digital.
Pertanian dewasa ini sudah mulai meninggalkan cara-cara tradisional yang mengandalkan tenaga fisik dan metode konvensional. Kita juga mendengar lebih sering istilah Petani Digital. Petani Digital sebetulnya merujuk kepada para petani yang telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam mengelola pertanian mereka. Baik dari sistem budidaya, bahkan sampai pengolahan pasca panen, distribusi, sampai proses bisnis hasil pertanian.
Petani digital menggunakan teknologi dan inovasi seperti sensor tanah, drone, Internet of Things (IoT), big data, analitik, kecerdasan buatan (AI), termasuk juga sistem informasi geografis (GIS). Inovasi dan solusi digital ini dapat membantu petani memantau kondisi tanaman secara real-time, serta mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan meningkatkan hasil panen secara berkelanjutan.
Beberapa negara maju telah menunjukkan keberhasilan signifikan dalam mengadopsi pertanian digital, sehingga memberi inspirasi negara-negara lain juga menerapkan hal yang serupa. Negara-negara tersebut di antaranya;
Bisa dikatakan jika Australia memiliki lahan yang cukup luas, sekitar 7,5 juta kilometer persegi. Tetapi, hanya sekitar dua pertiga atau 485 juta hektar saja yang merupakan wilayah pertanian. Sisanya terdiri atas padang pasir, gunung, hutan lebat, dan daerah-daerah yang hampir bisa disebut gersang.
Curah hujan rendah juga dialami di beberapa daerah di sana. Hal ini berarti bahwa beberapa daerah pertanian sangat bergantung kepada sistem irigasi. Selain itu, unsur hara tanahnya juga bisa dikata tak terlalu subur, sehingga petani di sana perlu memberikan pupuk untuk tanaman. Itulah sebab, negara ini perlu memikirkan cara yang dapat menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut. Digitalisasi ekosistem pertanian adalah solusinya!
Australia dikenal dengan negara yang sudah mengadopsi teknologi digital untuk mengatasi tantangan logistik dan produktivitas. Penggunaan drone untuk pemetaan lahan dan pemantauan kondisi tanaman, serta sistem irigasi otomatis yang dikendalikan melalui aplikasi smartphone, telah membantu petani meningkatkan efisiensi penggunaan air. Juga dalam memperluas lahan agar dapat ditanami. Saat ini, Australia dikenal sebagai pengekspor hasil-hasil pertanian ke berbagai negara, terutama di Asia. Utamanya gandum dan buah-buahan.
2. Pakistan
Pertanian di negara Pakistan menyumbang hampir 20% dari produk domestik bruto dan menyerap sekitar 40% tenaga kerja di negara itu. Bahkan disebut-sebut sebagai negara penghasil tebu terbesar kelima, produsen gandum terbesar ketujuh, dan petani beras terbesar kesepuluh dunia. Namun, Pakistan masih mengandalkan mesin traktor dan bergantung pada tenaga kerja manusia.
Hingga tahun 2021 silam, para petani di beberapa proyek percontohan di Pakistan diberikan akses gratis ke internet. Bermula dari inisiatif Digital Dera, sebuah gagasan untuk mendigitalkan sektor pertanian di sana. kemudian, terjadilah sebuah revolusi besar terhadap cara mereka bekerja. Petani di daerah tersebut membiasakan diri dengan komputer dan tablet untuk melihat ramalan cuaca dengan akurat, serta memantau harga pasar terbaru, serta informasi-informasi lain seputar pertanian.
Seorang petani dengan menggunakan satu tabletnya, dapat mengontrol irigasi di lahan seluas 100 Ha. Sementara itu, di tempat berbeda masih di Pakistan juga, puluhan lelaki memuat buah dan sayuran ke sepeda keliling yang mengantarkannya ke sebuah gudang perantara. Perantara antara petani dan pedagang ini merupakan perusahaan rintisan. Setelah empat bulan perusahaan rintisan beroperasi, sejumlah 100 ton produk setiap harinya keluar-masuk lewat aplikasi seluler. Keberhasilan ini membawa investasi mengalir ke perusahaan rintisan di Pakistan, dananya tak kurang US$20 juta dan meningkat melebihi US$310 juta tahun lalu, naik lima kali lipat dari level tahun 2020.
3. China (Tiongkok)
Mirip seperti Australia, meski Tiongkok memiliki daratan seluas 9,6 juta kilometer persegi, tetapi tanah yang bisa digarap hanya 1,27 juta kilometer persegi saja. Tiongkok memasuki tahap perkembangan pertanian dengan pesat sejak tahun 1978 ketika reformasi pedesaan dicanangkan. Memproduksi padi, gandung, jagung, kedelai, kapas, kacang tanah, dan tebu.
Saat ini, China begitu gencar memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) di ekosistem pertanian. Salah satu inovasi terbaru adalah penggunaan robot AI yang mampu melakukan tugas-tugas pertanian secara efisien dan efektif. Pertanian tradisional yang acap dikaitkan dengan kerja keras karena mengandalkan kekuatan fisik manusia, kini tidak berlaku lagi. Robot tak butuh istirahat!
China telah mengembangan 60 jenis robot AI yang mampu melakukan berbagai tugas dan pekerjaan secara end-to-end, dari penanaman hingga pemanenan. Robot-robot tersebut dioperasikan oleh petani lewat ponsel pintar. Dengan hadirnya revolusi robot AI, maka pekerjaan petani menjadi lebih ringan.
Mampukah pertanian Indonesia seperti negara-negara di atas? Tidak ada yang tidak mungkin, meskipun pasti akan banyak sekali tantangan yang dihadapi. Solusi pertanian digital telah dihadirkan oleh Telkom lewat Agree. Agree adalah platform digital yang dirancang untuk membantu petani mengelola berbagai aspek pertanian mereka dengan lebih efektif. Dengan mengintegrasikan teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT), big data, analitik, dan kecerdasan buatan (AI), Agree menawarkan berbagai alat dan layanan yang dapat diakses melalui perangkat mobile dan komputer. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan dukungan yang diperlukan bagi petani dalam membuat keputusan yang lebih tepat berdasarkan data real-time dan analisis yang mendalam.
Dengan mengintegrasikan teknologi canggih, platform Agree membantu petani mengatasi tantangan tradisional, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta mendorong keberlanjutan. Sebagai bagian dari revolusi pertanian digital, Agree berupaya memberi solusi bahwa masa depan pertanian tidak semata tergantung pada metode konvensional belaka. Hadirnya inovasi dan teknologi dapat meningkatkan minat kaum muda untuk terlibat dan ambil bagian di sektor pertanian! (hzr)
Artikel Terkait
Jelang hari raya Iduladha, penggemukan sapi makin gencar dilakukan!
4 bulan yang lalu
Tidak Kalah dengan Belanda, Solusi Agree Bantu Terapkan Prinsip Pertanian Sirkular
4 bulan yang lalu
Data Scientist Telkom: Mengasuh Agree Lewat Data
1 tahun yang lalu
Bangkit Bersama Agree menjadi Petani Swamandiri!
2 tahun yang lalu