LP
Leap by Telkom
•
19 Aug 2022 14.18 WIB
“Nggak nyangka saya bisa diangkat menjadi pegawai tetap! Karena saya bekerja di Telkom dari project base. Nggak expect nanti kalau kontrak habis bagaimana, alhamdulillah ditawari jadi Tenaga Kerja Kontrak atau yang serimng disebut TKP(Tenaga Kerja Pendukung) malah sekarang bisa jadi pegawai tetap,” ungkap Imam Prastio, UI Designer chapter Design & Experience (DEX).
Semula, Imam dikontrak selama 6 bulan di ZoomIn, salah satu produk digital di bawah Leap Telkom juga, tetapi sayangnya setelah berjalan 8 bulan ZoomIn tidak sustain dan harus akuisisi bergabung dengan Inpoin di bawah Telkom.
Lepas dari sana Imam ditawari menjadi TKP di chapter DEX pada bulan Maret 2019. Masih di Chapter DEX, tak berselang lama Imam alih status menjadi Pro Hire, dan bulan Oktober 2021 mendapat tawaran ke Digital Business & Technology (DBT).
“Pada Oktober 2021 kontrak saya sebagai Pro Hire berakhir, waktu itu saya ambil 2 tahun. Lalu dari situ saya alih status sebagai Pro Hire Digital Talent di DBT. Hingga akhirnya ada program alih status lagi per 1 Juli 2022 saya menjadi karyawan tetap,” jelas Imam.
Imam merasa nyaman bekerja dalam lingkungan digital Telkom, “senengnya di Telkom yang saya rasa dari Project Base sampai jadi karyawan tetap itu di sini kulturnya tidak membeda-bedakan antar status karyawan, jadi tidak memandang TKP, Project Base, atau Organik. Semua ide dan gagasan selalu diterima dan manager kita saling terbuka”.
“Menurut saya, rejeki tidak selalu uang. Bisa saja di kultur kerjaan, waktu kerja, work-life balance, teman-teman dan lain-lain yang alhamdulillah di Telkom work life balance-nya oke. Kalau ada project yang harus lembur ya wajar tapi tidak sampai tiap hari lembur. Gaji pun masih bersaing lho!. Kalau boleh jujur di awal dulu sempat hampir kerja di tempat lain, karena baru menikah ada kekhawatiran dengan status kontrak. Tapi untung nggak saya ambil, haha!” ujar Imam.
Legion Design System
Sebagai seorang UI Designer, Imam memulai karir dari Front-End Developer di salah satu startup terlebih dahulu. Ia memang senang men-desain sejak jaman kuliah bahkan sering dimintai membuat desain website. Lebih banyak ia belajar secara otodidak. Pengalaman di Front-End Developer sangat membantu Imam untuk cepat beradaptasi sebagai UI Designer.
Imam berpendapat jika seorang UI Designer berfungsi menerjemahkan dalam User Interface yang kelak bisa dipakai oleh end user. User yang menjadi tanggungjawab UI tidak sekedar end user belaka, tetapi juga bagaimana mendesain untuk developer dan stakeholder. Karena menurut Imam, seorang UI Interface tidak bisa memaksakan membuat User Interface yang baik dari sisi user semata. Harus pula mempertimbangkan dari sisi teknis karena nantinya akan dibangun oleh Developer. Sementara dari sisi stakeholder, teranglah mereka memiliki brand language atau branding tersendiri sehingga mengikuti kaidah bahasa, warna, penulisan dan lain-lain menjadi penting.
Sejauh ini, Imam pernah terlibat dalam pengerjaan produk Indibox, dan sejak masuk DEX di bulan Maret silam ia di-assign ke myPertamina hingga sekarang. Imam menjelaskan jika Telkom memiliki banyak produk sehingga pengerjaannya dibagi ke dalam beberapa tribe, ada enterprise, education, finance dan management business.
“Nah, itu seperti pengkategorian, kalau saya di tribe enterprise. Meng-handle beberapa produk dan rata-rata dari enterprise luar. Seperti saya dengan Pertamina, saya mengembangkan myPertamina, ada juga merchant apps yang sedang dikembangkan, semacam alat kasir untuk agen-agen Pertamina. Saya sekarang juga sedang mengembangkan web registrasi. Kalau di Tribe, saya assign UI Designer di project-project Pertamina seperti registrasi subsidi, merchant apps, dan dashboard untuk SPBU seperti pembayaran, reporting, dan proses checking dispenser SPBU, pompa, dan lain sebagainya”.
Di myPertamina yang memang sudah berjalan, Imam diminta untuk melakukan re-design. Dari sisi design tim dibagi menjadi UX, UI dan lainnya, “kendalanya tim masih kecil, masih belasan orang dan saya juga anak baru waktu awal dulu. Kami bertiga coba bikin ulang dari awal, ya situasinya sulit karena dipegang tiga orang dan projectnya harus cepat. Jadi dari sisi UI sendiri terkendala design akhirnya tidak konsisten, karena tidak punya pegangan style guide dari awal dan tidak punya design system. Saat itu tampilan tidak konsisten antara yang Imam dan tim buat, dari sisi warna, spacing dan lain-lain. Dan ini menyulitkan Developer.
“Akhirnya waktu itu saya coba bikin design system, tidak langsung design system sih, namanya itu Style Guide. Jadi, kita coba audit semua tampilan dari myPertamina, coba ambil semua komponen, standarisasi kemudian coba bikin petunjuk dokumentasinya dari awal agar tampilan konsisten. Dan untuk developer juga kerjanya lebih cepat karena terdokumentasi lebih baik. Pelajaran di myPertamina membantu banget sampai sekarang akhirnya saya membantu untuk mengembangkan desain sistem bernama Legion Design System,” terang Imam.
Legion Design System mencoba mengembangkan secara pola (pattern), komponen UI sehingga nantinya semua produk Telkom bisa dipergunakan dan konsisten. Jadi, secara desain akan mengacu ke struktur yang tetap dari Legion dengan tetap membawa style masing-masing supaya konsisten dan rapi. Legion juga menyiapkan komponen-komponen dari sisi developer dan juga dari sisi code-nya.
Imam juga mengingatkan bahwa Telkom memiliki banyak Tribe dengan scoop dan produk-produk digital yang berbeda-beda. Ketika kesemua ini sudah mengacu pada Legion yang sudah ada komponen, codebase dari programmer, maka tinggal mengesuaikan saja dengan style produk masing-masing. Jelas ini akan memangkas banyak hal dari segi waktu dan biaya.
Expertise Seorang UI Designer
Skill basic tentu saja adalah visual design semacam komposisi, color, contrast, dan typography. Seorang UI Designer berbeda dengan Graphic Designer. Ada beberapa aturan yang harus diikuti, karena apa yang UI Designer kerjakan harus di-develop sehingga ada hal-hal teknis yang perlu dipelajari. Seperti mempelajari mengenai layout, bagaimana aturannya, lantas mencoba mengakomodir inclusive design yang juga bisa dipergunakan secara majemuk, termasuk pengguna disabilitas.
“Kita harus mempertimbangkan layout-nya atau kalau ada button kita kasih label. Mereka kan pake screen-reader, nah nanti bagaimana caranya screen reader supaya tidak bingung. Dan juga diusahakan seminim mungkin tulisan, termasuk juga mempertimbangkan typography seperti ukuran, spacing, dan lainnya karena dari teman-teman disleksia akan kesulitan membaca jika typography tidak sesuai. Begitu kira-kira, jadi banyak hal yang coba di-cover oleh UI dari sisi teknis aturan-aturan yang mengedepannya accessibility,” jelas Imam.
Apa yang perlu dipelajari jika ingin terjun menjadi UI Designer?
Secara jelas dan gamblang Imam menyebut bahwa membaca adalah modal utama. Membaca dokumentasi google atau apple bisa menjadi petunjuk User Interface, “selain itu, pengalaman saya baca-baca artikel itu sulit karena kita tidak mengerti dari awal karena banyak yang clickbait, jadi menurut saya textbook bisa jadi pilihan walaupun harganya cukup mahal”. Untuk bahan bacaan, Imam merekomendasikan Halo Designer.
Mengikuti komunitas juga tidak kalah penting karena bisa membangun diskusi dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu berkecimpung di UI sebagai digital talent, dan Imam bilang syukur-syukur jika dapat mentor.
Pada dasarnya, peran mentor sangat membantu sehingga kita tidak perlu tersesat dalam pencarian ilmu. Mentor biasanya memberi arahan yang urut dari yang paling mudah ke hal yang sulit, “kalau ada kendala bisa tanya langsung, tidak cari-cari sendiri di internet yang kadang makan waktu banyak juga. Kalau ada mentor itu kita bisa diskusi langsung dan mencari solusinya bareng-bareng entah dari buku atau dari mana gitu. Untung-untungan makanya kalau ada fresh graduate yang masuk startup ada senior di kantor, kalau dia jadi lone wolf, kerja sendiri itu agak sulit sih memang”.
Imam merasakan sendiri betapa mentor membuatnya lebih mudah beradaptasi di pekerjaan.
“Kalau di Telkom alhamdulillah seniornya sudah ada dan kalau di DEX itu sering ada acara sharing session dengan speaker dari startup luar Telkom. Senior-senior organik di Telkom juga enak diskusinya dan terbuka. Malah dulu kita kerjanya di co-working space jadi bener-bener kerasa kaya startup gitu. Di kantor sekarang pun sudah menerapkan WFA (Work From Anywhere) untuk DBT-nya. Kita dibebaskan untuk kerja dari mana saja, mau di rumah, cafe, GMP (Gedung Merah Putih), TLT (Telkom Landmark Tower) dipersilahkan aja jadinya nggak kaku, tidak harus pake seragam gitu. Kerjanya juga fleksibel. Jauh banget sih dari bayangan korporat yang kaku kalau di Telkom,” pungkas Imam.
Apakah Leapers juga ingin bekerja di korporat dengan kultur startup yang agile dan dinamis seperti Imam? Cari tahu role yang sesuai dengan Leapers dan langsung apply pada button di bawah ini!
Bagi Leapers yang masih penasaran dengan cerita lainnya, kunjungi medium kami dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya.
Artikel Terkait
Leap - Digital Telco Hadirkan Ragam Solusi Digital
10 bulan yang lalu
Menghadapi Tantangan dalam Menyusun Strategi Digital Marketing
1 tahun yang lalu
Perempuan dalam Kesetaraan dan Industri Digital
1 tahun yang lalu
Manfaatkan Peluang dengan Program Internship Telkom
1 tahun yang lalu