“Ke kantor itu nagih!”
Mendengar kalimat di atas, mungkin sebagian dari kita akan berpikir aneh, mungkin juga sebagian lagi berasumsi jangan-jangan orang yang mengatakan itu adalah seorang gila kerja. Tetapi, percayakah Leapers jika lingkungan kerja yang nyaman dan asyik di mana rekan kerja seperti keluarga, justru membuat kantor menjadi tempat yang ingin didatangi setiap hari.
Kenapa Telkom, sih?!
Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Simon Surbakti, Product and Go To Market Antares IoT Leap Telkom. Menurutnya, Culture ini adalah yang terkuat dan membuat Ia betah berada di Telkom sejak 1 November 2021 silam, dibanding saat masih berkarir luar negeri. Ia yang sejak kuliah memang sudah di luar negeri, memulai karir pertama di Microsoft Singapura selama 8 tahun, berlanjut 4 tahun setelahnya di Oracle Singapura, sebelum akhirnya pulang ke tanah air dan mantap mengabdi di Telkom.
“Culture keluarga menjadi strong point, karena itu tidak saya temukan di luar negeri. Mereka benar-benar cylo, KPI saya ya KPI saya, sikut siapa saja yang penting KPI saya tercapai, sementara di sini (Telkom), KPI saya berarti ya KPI tim. Culture kekeluargaan inilah yang buat kita nagih untuk datang tiap hari,” ucap Simon.
Memang, di awal Simon mengaku sempat mengalami culture shock mengenai birokrasi. Namun, sikapnya yang cenderung dinamis tidak menjadikan hal tersebut sebagai hal yang besar. Beradaptasi adalah keharusan dan pasti bisa jika berpikir realistis. Terlebih, Telkom sekarang sudah mengarah ke digital, “jadi saya pikir bisa bekerja di semi government tetapi ada culture startup-nya dan bisa berkontribusi juga untuk negara”.
Awalnya, Simon bekerja di tataran Produk Manajemen dan akhirnya saat ini Ia ditetapkan di IoT. Banyak hal-hal yang berbeda yang dijalankan selama ini.
Baca juga: Mendorong revolusi bisnis dengan solusi IoT Telkom, Antares
“Saya di plot under product management, artinya mengembangkan produk dan apa yang menjadi prioritas dan feedbacknya seperti apa dan sekarang saya di-assign ke IoT yang totally different, jadi saya lebih ke arah go to market, artinya terdiri dari marketing and sales,” jelas Simon.
Simon yang senang belajar untuk meng-upgrade skill-nya tidak mengalami kendala ketika harus menyesuaikan diri di IoT. Di Go To Market, Simon membawahi 5 orang yang masing-masing dipercaya untuk memegang marketing di tiap-tiap squad. Lima squad dalam IoT yaitu transportation solution, manufacturing solution, poultry solution, platform solution dan smart city solution.
”Masing-masing dedicated dan responsible untuk marketing, mulai dari social media, project management juga jika ada PO hingga ke strategi, tetapi untuk arahan tetap dari saya,” jelasnya.
Arahan yang dimaksud tersebut dimulai dari SEO Strategy, STM Strategy, marketing investation strategy, content strategy dan lead direction. Hal ini karena IoT bersifat solusi dengan core B2B sehingga waktu yang diperlukan dalam satu sales itu sekira 6 bulan.
Baca juga: Pengimplementasian IoT Oleh Antares, Memberikan Solusi Penghematan Biaya Pada Bisnis
“Jadi misal dari bulan Januari kita ketok pintu, kemungkinan untuk keluar purchase order itu di bulan juni dengan price solution kita paling murah berada di 300 juta,” ungkapnya.
Lama waktu dan angka yang tidak kecil inilah yang membuat Simon mengawal langsung di sisi sales, di samping menahkodai kelima squad marketer di atas.
Mengenal Alur Kerja Antares IoT
Simon menjelaskan work flow yang dijalankan oleh marketing IoT. Diawali dengan membedah perusahaan, menentukan potensi IoT solusi menyasar kemana dan siapa PIC-nya. Tiga komponen ini penting untuk menentukan proses berikutnya.
Ketika PIC sudah ditemukan, tim Simon akan membuat link team, mereka meng-approach by message link team sehingga mendapatkan output. Output ini kemudian dikonsultasikan ke tim selling.
“Artinya, kita tahu pain problem mereka apa, kita approach mereka dengan solusi, kita create pain problem mereka, menawarkan solusi dan jangan sampai mereka yang mengatakan problem-problem mereka, justru itu harus muncul dari hasil analisa kita dan saat presentasi kita jelaskan, ketika mereka merasakan kesamaan masalah, maka di situ sudah melewati satu langkah approach awal,” ujar Simon.
Jika setelah itu ada twist communication, langkah selanjutnya adalah introduction meeting, di mana tim Simon akan menjelaskan apa itu IoT. Kemudian saat calon user, masuk ke technical meeting membahashal-hal teknis seperti hardware dan software.
Jika calon user semakin tertarik, melangkah lagi ke tahapan berikutnya yakni site survey yaitu melihat kondisi lapangan, kondisi pabrik mereka, permasalahan di lapangan, mencatat existing technology dan dikolaborasikan, “kita ukur apakah possible kita ganti semuanya ataukah kita pakai apa yang mereka punya”.
Usai fase ini, lalu berlanjut ke deep technical meeting membahas beragam kemungkinan pemasangan aplikasi, software dan hardware, bagaimana resiko, cost, cashcow, swot dan lain-lain yang dipaparkan secara terbuka dan transparan. Simon mengatakan biasanya di tahap ini calon user sudah tertarik karena tim Simon berorientasi kepada detil.
Tahap selanjutnya adalah Proof of Concept yang membuktikan apakah yang sudah dipresentasikan selama ini benar-benar terealisasi di lapangan. “Misal mereka punya 10 kebutuhan, maka kita akan pasang satu sensor untuk membuktikan yang kita jelaskan itu betul. Sensor ini akan dimonitor berbasis continuous improvement dan corrective feedback selama 4 minggu yang berkembang di setiap meter,” terang Simon.
Proses yang panjang ini tentu harus diberi sinyal kepastian bahwa di ujung nanti ada kesepakatan, maka Simon ‘mengunci’ calon user dengan memberikan parameter. Sebagai contoh, ia akan memasang 5 parameter dan dengan optimis ia akan menyampaikan, “jika dari 5 ini terjawab maka tidak ada alasan kita tidak melanjutkan project ini”.
Dan menurut Simon, strateginya ini acap tercapai karena kebanyakan keseluruhan parameter yang ia terapkan kesemuanya terjawab.
Dari proses ‘kuncian’ ini, barulah masuk ke Purchase Order. Setelah keluar angka, barulah proses instalasi. Proses instalasi ini Simon patok sekira satu sampai satu setengah bulan. Dengan pertimbangan banyak hal, di antaranya proses pasang-monitor yang dikerjakan satu per satu juga kemungkinan-kemungkinan eksternal seperti birokrasi yang cukup tebal di lingkup manajerial calon user.
Usai proses ini terlewati, Simon dkk akan melakukan meeting sekali lagi untuk membahas hasil, memaparkan foto dan result lain sampai calon user puas sesuai koridorscoop of work yang dibuat. Barulah kemudian diterbitkan BAST (Berita Acara Serah Terima) yang ditandatangani tribe leader IoT dan pihak user, “barulah dana cair dan proses ini paling cepat enam bulan”.
Agile Working Style
Sebagai seorang orkestrator di Antares IoT, Simon melihat dari segala sisi terhadap apa yang dikerjakan IoT tidak sekedar pada satu squad saja. “Saya update progress dan pending task dari setiap squad sehingga saya tahu skema mereka seperti apa, apa yang mereka kerjakan dan alokasi teknis kemana,” jelas Simon.
Baca juga: Rangat Indonesia Menjadi Negeri Agraris Modern lewat Smart Poultry
Lebih lanjut Simon juga menjelaskan jika di Antares IoT sudah mengadopsi sistem agile style of working yang memungkinkan banyak target tercapai, Service Level Agreement (SLA) tercapai, dan customer happy.
“Jika satu squad selesai kita akan bantu squad lain, mudahnya kita bisa kemana saja. Misal, yang dulu hanya tahu tentang transportation, mereka ter-up skill tahu manufacturing karena IoT ini basicnya sama, cuma yang membedakan itu hardwarenya,” ujarnya.
Sebetulnya, menurut Simon culture di IoT lah yang membuat terbukanya peluang extra mile sehingga masing-masing bersedia untuk mengerjakan bahkan yang bukan scoop of job mereka. Style agile juga mendorong mereka untuk berkembang, menambah skill dan pengetahuan yang tidak terfokus pada satu hal melainkan memiliki mindset saling bantu sehingga juga ownership terbentuk.
Total di Antares IoT itu ada 30 orang, 15 di antaranya adalah teknis, di mana ada 4 squad yang harus survei, melakukan maintenance yang dilakukan melalui mobile, harus bisa mengukur waktu dan pengeluaran keuangan, ketika ada task mereka berangkat dan selesaikan, “jadi appreciate banget untuk miles tim teknis IoT dan saya bisa bilang di antara tribe lain, kami yang paling kompak”.
Simon pun bilang kalau sebetulnya kesempatan berkarir di IoT itu terbuka luas meski dari multi disiplin. Basicnya ada dua yaitu antara teknik informatika dan teknik elektro. Namun di dalam tim sendiri, ada juga yang berasal dari background berbeda yaitu dari teknik telekomunikasi yang jauh dari hardware, coding dan lain-lain.
Semula Ia memang susah untuk catch up, namun dengan terbentuknya culture agile tadi dalam tim terbentuk mentally untuk berbagi, sehingga saling bantu dan sekarang Iasudah bisa survei secara mandiri. Begitupun dengan gap gender, meski orang teknis didominasi laki-laki, sebetulnya kesempatan untuk perempuan juga cukup terbuka dimana di IoT, 2 dari 15 adalah perempuan. Tetapi kiranya, hal ini bukan dikarenakan tertutupnya kesempatan, melainkan lebih kepada minat dari perempuan itu sendiri di bidang technical.
Baca juga: Perkembangan Internet hingga Hadirnya Teknologi Nirkabel LoRaWAN di Indonesia
Untuk mengasah kemampuan, di IoT memiliki laboratorium dengan alat yang lengkap yang saban hari boleh ‘dioprek’, bebas dipasang, bongkar, rakit dan lain-lain. Rusak tidak masalah, yang penting tetap belajar dan berusaha sampai akhirnya mendapatkan momentum atas device tersebut. “Jadi kalau ke Telkom Kebayoran Baru lantai 6 jangan heran kalau melihat semua orang masing-masing pegang device, pegang solder, dan kadang kita mengerubuti satu orang karena ingin belajar,” tutup Simon.
Masih penasaran dengan cerita lainnya? kunjungi medium kami di medium.leaptelkom dan follow untuk mengikuti keseruan lainnya!